Lihat ke Halaman Asli

Indonesia yang Berubah

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hal yang perlu disadari bahwa Indonesia adalah Indonesia baru, bukan Indonesia yang dahulu, tetapi Indonesia yang telah berubah. Perubahan struktur sosial-ekonomi-politik yang telah terjadi pada era Orde Baru, minus otoritarianisme politik dan sentralisme kekuasaan, masih berlangsung pada era Reformasi. Pada era Reformasi kehidupan nasional ditandai oleh semakin derasnya arus liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya.

Pengalaman ajaran-ajaran demokrasi pada tingkatnya yang "paling liberal" mendorong demokratisasi Indonesia bersifat sangat liberal. Selain pembentukan sejumlah lembaga quasi konstitusional seperti komisi atau komite yang mengurangi peran, demokratisasi juga ditandai oleh pemilihan langsung eksekutif pada hampir semua tingkatan (presiden/wakil presiden hingga ke bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota). Hal pertama berdampak pada ketidakhadiran negara, dan kurang bertanggung jawabnya negara atas berbagai masalah dewasa ini, yang bermuara pada penumpukan masalah nasional. Hal kedua mendorong politik harga tinggi (high cost politics) dengan segala konsekwensinya dalam kehidupan masyarakat. Proses pemilihan langsung juga mempengaruhi integrasi dan soliditas masyarakat, tidak hanya di ranah politik, tetapi juga di ranah sosial. Konflik internal organisasi tidak terelakan, dan energi terkuras untuk menanggulangi dampak ini.

Liberalisasi ekonomi yang telah mengakibatkan munculnya "keuangan yang maha kuasa (the power of money)" kini memasuki wilayah politik dengan menyuburkan praktik politik uang (money politics), yang kemudia juga merambah wilayah sosial termasuk organisasi keagamaan. Maka terjadilah demoralisasi serius dalam kehidupan organisasi kala banyak anggota dan bahkan pimpinan dengan mudah menggadaikan diri untuk kepentingan politik partisan, dan organisasi menjadi subordinat partai politik tertentu.

Sistem perpolitikan dan kepartaian Indonesia juga menetapkan partai politik sebagai "jalur tunggal" mobilitas vertikal warga negara. Sebagai akibatnya, ormas kehilangan akses dalam arena pengambilan keputusan strategis, baik legislatif maupun eksekutif. Maka berlakulah adagium, "lembu punya susu sapi punya nama", yang analog dengan "ormas punya anggota, tetapi partai politik yang menikmatinya".

Liberalisasi budaya tidak kalah gentingnya. Arus penetrasi budaya luar yang tidak terelakan pada era globalisasi dewasa ini telah mengakibatkan melunturnya kepribadian bangsa. Hal ini ditunjukkan pada kegandrungan sebagian rakyat termasuk generasi muda terhadap semua yang berbau asing. Sementara sisi lain, kemampuan bansa bersaing di pentas antarbangsa secara umum tidak cukup tinggi, maka sindrom hilangnya kepercayaan diri bangsa menjadi luas.

Semua perkembangan tersebut tentu membawa akibat dan dampak sistematik ke dalam kehidupan bangsa yang mayoritas beragama (khususnya beragama Islam). Terjadi proses dekadensi kehidupan nasional secara signifikan. Menurut kriteria PBB, Indonesia sudah berada diambang negara gagal (failed state). Hal ini dilihat dari 12 (dua belas) variabel negara gagal, 6 (enam) sudah dimiliki Indonesia, antara lain distribusi kekayaan negara yang tidak merata, merajalelanya korupsi, dan penguasaan negara oleh segelintir elit. Pada tataran kedaulatan negara, khususnya dalam bidang ekonomi, juga dapat dikatakan runtuh, dengan adanya dominasi asing dalam bidang-bidang strategis tersebut. Keadaan ini diperparah oleh faktor regulasi, baik pada UUD maupun UU, yang ternyata kurang berkorelasi positif terhadap terhadap pencapaian cita-cita nasional, bahkan berandil dalam meruntuhkan kedaulatan negara dalam bidang pangan dan ekonomi, seperti pada UU tentang Migas, UU tentang Minerba, UU tentang Investasi, dan UU tentang Geotermal.

Berbagai upaya memang telah dilakukan, tetapi bersifat tambal sulam, tidak komprehensif dan strategis. Reformasi struktural pada kehidupan nasional melalui produk hukum dan perundang-undangan, serta kebijakan strategis oleh Pemerintah dan DPR tidak membawa perbaikan signifikan, bahkan pada tingkat tertentu berandil dalam menciptakan "kerusakan nasional". Partai-partai politik belum sepenuhnya menampilkan peran positif konstruktif bagi pembangunan bangsa. Banyak produk legislatif yang mengandung masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline