Lihat ke Halaman Asli

Iwan Susanto

Warga Biasa

Kabinet Pancasila

Diperbarui: 15 Januari 2021   03:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini berangkat dari sebuah konsensus bersama bahwa hanya ada satu norma yang sudah disepakati sebagai tolok ukur perilaku bernegara, yaitu Pancasila.

Bernegara merupakan sebuah itikad berkumpul dari masyarakat atau kelompok masyarakat untuk mencapai satu tujuan yang bisa dinikmati bersama.  Sebuah kalimat indah yang sebenarnya sangat kontradiktif, bagaimana mungkin individu yang sudah sejak lahir membawa perbedaan satu sama lain bisa bersatu? bukankah hanya kebersatuan warga negara yang bisa menuntun bangsa mencapai tujuan bersama? Jangan jangan semua ini hanya sebatas imajinasi manusia saja yang menginginkan bisa bersatu untuk membangun kekuatan dan mencapai tujuan yang sama?

Para “Pendiri Bangsa” sudah menyadari bahwa dalam bernegara diawali dari beragam latar belakang yang berbeda, perbedaan suku, agama, ideologi dan perbedaan-perbedaan yang lain dalam imajinasi masing masing “kontibutor” yang ingin berkumpul untuk menyusun haluan negara. Untuk itu dibangun sebuah kesepakan yang harus diikuti bersama, yang dituangkan dalam sebuah norma yang kita kenal dengan “merk” Pancasila. Ketika membaca sila sila dalam Pancasila itu, rasanya bangsa ini sangat mudah untuk memperoleh kedamaian hidup dalam satu “kurungan” NKRI. Bagaimana tidak damai, kita hidup bersama warga negara yang berketuhanan, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, warga negara yang bersatu yang senantiasa mengutamakan bermusyawarah dalam menentukan kebijakan untuk dijalani bersama sama nantinya, serta memperoleh jaminan keadilan dari negara. Rasanya tidak ada yang kurang sedikitpun dari suasana bernegara semacam ini. Pertanyaannya apakah kita merasakan kedamaian dalam bernegara saat ini? jika masih merasa ada kedamaian yang terusik, mari kita lanjutkan berimajinasi mengapa kondisi seperti ini bisa atau masih terjadi.

Beberapa waktu yang lalu muncul slogan dari perorangan atau kelompok yang menyatakan, “Saya Pancasila, Kita Pancasila” tentunya ini sah sah saja dan bahkan berdampak positif jika memang benar berperilaku pancasilais. Tapi ada yang jauh lebih penting dari seedar slogan-slogan semacam itu, yaitu sistem yang pancasilais, karena dalam sistem yang pancasilais sudah dengan sendirinya warga negara akan berperilaku pancasilais baik secara terpaksa atau sukarela. Sistem yang pancasilais ini sebuah keniscayaan, mengingat semua Parpol sebagai pemegang amanah untuk menjadi eksekutor pemerintahan harus berideologi Pancasila, apalagi didukung Ormas-Ormas yang wajib menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasar dalam berorganisasi.

Tapi kondisi yang berkembang sampai saat ini (entah mulainya kapan) sepertinya Pancasila hanya sebagai sususan kata kata indah untuk dibaca atau diajarkan di sekolah. Setidaknya yang muncul dipermukaan adalah kontradiksi dari nilai nilai Pancasila itu sendiri. “pertengkaran” antar kelompok setiap hari menjadi konsumsi publik baik di media sosial maupun berita di media massa. Ditambah lagi prasangka akan sebuah sistem pemerintahan yang korup sepertinya belum bisa memberi harapan kapan akan bisa menjadi “bersih”.

Ketika Parpol adalah sebuah perkumpulan terpenting dalam menjalankan pemerintahan, mungkin atau bahkan seharusnya dalam operasionalnya mendapat pembiayaan yang cukup dari negara untuk proses kaderisasi dan edukasi para kadernya, yang sudah “mewakafkan” hidup untuk membawa aspirasi warga pemilihnya. Jika tidak, untuk biaya operasionalnya tentu Parpol akan memungut “iuran” dari kader yang punya akses memainkan anggaran negara yang ujung ujungnya menyeretnya dalam lingkaran sistem yang koruptif. Mengutip lawakan Komika senior, kurang lebih “ Koruptor adalah pejabat yang ditangkap karena korupsi, yang korupsi tapi belum ditangkap namanya tetap pejabat”. Jika demikian adanya, betapa sistem pancasilais yang diharapkan warga negara yang menitipkan suara pada Parpol sudah gagal dari awal. Padahal untuk mencapai tujuan bernegara yang sesuai Pancasila, yang diharapkan seluruh komponen bangsa, pemerintahan harus berangkat dari sistem yang bersih, karena sistem yang bersih akan membawa pengaruh kepada penyelenggara negara yang bersih, baik terpaksa maupun sukarela.

Kita berimajinasi mempunyai sistem pemerintahan yang bersih, baru selanjutnya bicara keterwakilan warga negaranya. Jika pemerintahan bersih rasanya rakyat tidak peduli-peduli amat siapa yang akan jadi pemimpinnya. Bahkan mungkin pemilu yang katanya pesta demokrasi akan sepi antusias dari warga negara karena “Golput” akan mendominasi. Warga negara “memilih” Golput ada dua alasan, pemilih sudah tidak peduli siapa yang akan menjadi penyelenggara negara karena sudah percaya pada sistem yang bersih, atau kemungkinan yang kedua, yang sangat tidak diinginkan yaitu Golput karena alasan tidak percaya kepada Parpol apapun untuk membawakan aspirasinya.

Tentunya seluruh warga negara ini sangat menginginkan sistem yang pancasilais ini bisa benar-benar terwujud, Sistem dengan mesin penggerak utama “KABINET PANCASILA” sampai struktur dibawahnya kuat mengemban “kesaktian” Pancasila untuk mengalahkan para penjahat. Kita masih punya harapan, ketika pagi hari memulai aktivitas dengan mendapati berita yang menggambarkan suasana kehangatan bermasyarakat ,mendapati lingkungan masyarakat yang “cerdas”, yang bisa menerima kebenaran dari fakta bukan berdasar opini kelompok yang sepaham, tidak ada lagi caci maki antar warga negara, apalagi yang berskala nasional.

Bekasi, 15 Januari 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline