Kompasiana bagian politik ini menjadi
bacaan wajib saya, terutama berita mengenai Jokowi. Seperti banyak orang, saya
juga menjadi salah satu yang terpesona dengan karakter “wong Solo” ini. Mungkin
dia adalah salah satu anugerah terindah di tengah kegersangan iklim politik
Indonesia.
Saya ingin menulis mengenai misi Jokowi,
tetapi bukan misinya untuk meningkatkan taraf hidup orang Jakarta (atau
Indonesia), dan juga bukan misi untuk menertibkan Jakarta (atau Indonesia),
melainkan misinya sebagai seorang kader partai. Kalau mengenai misinya di
Jakarta, pasti sudah banyak ditulis di kompasiana.Misi sebagai kader.
Sebagaimana kita tahu, Jokowi selalu
mengatakan bahwa dia adalah kader PDIP dan akan selalu menaati keputusan
partai. Ketika ditawari jadi capres, dia menggeleng dan mengatakan bahwa dia
adalah kader partai. Dia juga berkampanye ke daerah-daerah lain membantu calon
kepala daerah dari partainya dengan alasan bahwa itu adalah perintah partai.
Banyak orang yang tidak setuju atau tidak rela jika Jokowi diplekotho atau dipekerjakan dengan keras atas nama partai. Mereka
beralasan bahwa Jokowi adalah milik rakyat DKI, dan bukan milik eksklusif
partai.
Ketika menjabat di pemerintahan, seharusnya
kesetiaan terhadap partai terputus. Kalimat ini sering digunakan untuk
membatasi Jokowi membantu partai yang membesarkannya. Bisa benar, bisa juga
tidak. Benar dalam artian, apabila ada kepentingan partai yang berseberangan
dengan kepentingan rakyat yang dipimpinnya, maka kesetiaan terhadap partai
harus dinomorduakan. Apabila partai meminta sebuah proyek, misalnya, dan proyek
itu jelas-jelas hanya sebagai sapi perahan partai, maka Jokowi harus dengan
tegas mengatakan tidak dan menolaknya. Bagaimanapun juga, kepentingan negara di
atas kepentingan partai.
Akan tetapi, apabila tidak berseberangan
dengan kepentingan negara, atau rakyat, dan bukan pada jam kerja, sebagai
kader Jokowi boleh atau harus membantu partainya, termasuk untuk kampanye. Di
sini saya melihat bahwa Jokowi mempunyai misi yang tidak hanya lokal, yakni
memenangkan kepala daerah, tetapi juga nasional, yakni mengembalikan makna
demokrasi. Maksudnya? Dengan menekankan bahwa dirinya adalah kader partai, maka
dia sudah keluar dari kepersonalannya menuju kelompok yang lebih besar.
Bagaimanapun juga, demokrasi berdiri di
atas partai-partai sebagai media langsung konstituen atau rakyat. Jika
yang kuat dan disukai hanyalah personal dan partai dibenci, maka demokrasi akan
runtuh apabila personal itu hilang. Jika hanya Jokowi yang dijunjung dan kita
apatis dengan partai pendukungnya, maka harapan itu akan cepat musnah apabila
Jokowi runtuh. Kita akan kembali putus asa dan mengutuk kembali
demokrasi.Dengan menekankan bahwa dia adalah kader partai, Jokowi ingin
menunjukkan pada kita bahwa yang baik bukan hanya dia. Banyak kader-kader lain
yang juga baik. Dia adalah salah satu dari kader yang baik di antara
kader-kader lain. Harapan Indonesia tidak hanya Jokowi, melainkan banyak
lainnya yang potensial. Ayo, lihat dan cermati kader-kader lain. Banyak
Jokowi-jokowi lain yang berpotensi untuk membenahi negara ini.
Misi Jokowi memang berat di tengah
keapatisan dan kesebalan kita terhadap wakil rakyat yang notabene berasal dari
partai. Wakil rakyat yang seharusnya menyambung lidah rakyat ,
ternyata hanya sebagai penyambung kepentingan partai. Kader-kader partai banyak
yang ditangkap karena korupsi. Tetapi, Jokowi tetap memikul harapan bahwa
partai sebagai pokok penting dalam demokrasi bisa membuat negara maju dengan
syarat ada pengawasan sejak dini. Negara ini akan cepat bangkit apabila nilai demokrasi
berjalan lancar dan kader-kader potensial dimunculkan. Pilkada dan pemilu
legislatif merupakan langkah awal untuk membenahi negara. Ayo cermati
kader-kader partai yang diajukan dalam pilkada dan pilleg, jangan hanya
mencermati Jokowi saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H