Lihat ke Halaman Asli

Sepeda dan Semangkok Bakso

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian ini terjadi saat saya SMP. Hari itu sabtu pagi. Saya dan sepeda balap saya yang belum genap berumur sebulan sampai di perempatan jalan Pemuda Surabaya. Seperti biasa, sabtu-sabtu begini saya ke tokonya pramuka di sebelah bioskop Mitra, buat beli perlengkapan. Kadang beli peluit, Tanda Kecakapan Khusus (TKK) baru atau majalah. Sekitar jam 10-an saya sudah di lampu merah, selesai dari toko dan mau pulang. Saya gak tahu sekarang, tapi dulu perempatan itu ramai sekali.

Pas lampu hijau.

Bergegas saya pacu sepeda balap saya, wus..wus..wus.. . Dalam hati, “Masa sprint sama motor kalah..”

10 meter, 20 meter, saya masih di depan, hingga tiba-tiba.. pada kecepatan tinggi itu..
Tiba-tiba waktu berjalan sangat lambat...dan anehnya, saya sempat sadar kalau waktu berjalan lambat.

Detik pertama, mur yang menjepit ban depan lepas sehingga kendor, stang tidak stabil.
Detik kedua, ban depan lepas, garpu yang menjepit ban depan sebagian masuk ke jeruji ban depan.
Detik ketiga, ban depan penyok terkena garpu, sepeda terangkat.
Detik keempat, saya terbang seperti perenang yang akan terjun ke kolam renang
Detik kelima, seperti superman , saya mendarat di aspal beberapa meter dari sepeda.

Antara sakit dan malu saya segera menoleh kebelakang, seandainya ada mobil yang melintas, saya harus bergegas minggir, sepeda sudahlah tinggal riwayat. Anehnya, motor-motor dan mobil yang tadi begitu saya menoleh kebelakang, semuanya gak ada. Sepiiii.....
Beberapa orang membantu saya berdiri. Siku tangan kanan dan kiri lumayan sakit, namun yang paling parah dagu bagian kiri, sobek.

Saat itu saya tinggal di daerah Ploso, kalau dari stadiun TambakSari sekitar 2 kilo. Jadi total sekitar 5 kilo saya berjalan pulang dari tempat kejadian, sambil menuntun sepeda yang ringsek bagian depan.

Sepanjang perjalanan saya mikir, apa yang menyebabkannya.
Kan sepedanya baru.
Kan tidak ada tanda-tanda sebelumnya kalau murnya bakal lepas.
Kan .. kan.. kan.. dan seribu kan lainnya.

Hingga tiba-tiba entah bagaimana mulainya, ingatan saya mundur beberapa jam sebelumnya, ke jumat malam.
Ibu saya kadang kalau malam-malam suka beli makanan yang lewat depan rumah. Kadang beli nasi goreng, kadang beli bakso, macem-macem lah. Biasanya saya selalu ditawari, “Abang mau?” Tentu saja jawaban saya selalu mau. Jadi, di otak saya, pokoke kalau Mama beli makanan, aku pasti dapat jatah.

Entah, malam itu aneh. Saya tidak mendengar ada tukang jajanan lewat. Saya lagi di ruang dalam, pas saya ke ruang depan, saya lihat Ibu saya sedang asik makan bakso!
Dalam hati saya, “Lho, kok beli gak bilang-bilang..?!”, kata-kata yang keluar saat itu..
“Kok Mama beli bakso gak bilang-bilang sih..?!” entah kenapa saya marah. Dan itu membuat Ibu saya sampai hampir tersedak makannya. Sambil mengangsurkan mangkok bakso dan sambil mengunyah bakso yang masih dimulut, beliau menyodorkan mangkok baksonya. Sepertinya akan berkata, namun tidak bisa karena terganjal bakso ,”Abang mau, ni Mama bagi..”

Namun, saya sudah terlanjur marah! Saya gak mau, saya masuk kamar dan tidur dalam keadaan marah!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline