KETIKA pertama bertemu di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UAE), penghujung 2008, fisik sosoknya mengingatkan saya kepada Dahlan Iskan, mantan Dirut PLN, Menteri BUMN. Ia memakai sneaker, kaus poloshirt. Postour tubuh mereka setara, juga suka bersahaja.
"Saya membaca tulisan Mas Iwan di blog. Sebelum di sini, saya anak buah Pak Sabam Siagian di Australia," ujar Wahid Supriyadi, membuka kata kala bersua. Pembawaannya tak lazim seukuran Duta Besar RI , kebanyakan, "Kasus Mas Iwan urus ini butuh waktu lama, tinggal saja di Wisma Duta bersama saya."
Kerja sosial membawa pulang sosok pemuda,Ziad, tertahan 8 tahun di UAE, ibunya meminta saya turun tangan. Sebelumnya, keluarga Ziad, meminta Direktur Perlindungan Warga Kemenlu, belum membuahkan hasil.
Bila bukan sosok diplomat seperti Wahid, sulit saya mengurus kasus Ziad. Ia memfasilitas mobil, memberi pendamping staf kedutaan lokal, Amin Appa. Pak Amin, rela mendampingi saya duduk menunggu Kadi (Hakim) hingga jam dua dini hari di Mahkamah. Kenyataan di UAE itu berbeda dibanding saya meng-advokasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya di Singapura, awal 2009.
SENIN, minggu ketiga Desember 2020, di saat masih membereskan taman - - selama Covid-19 waktu pagi saya isi bergerak memotong rumput, membereskan tanaman, - - datang kurir mengantar paket. Isinya buku Diplomasi Ringan dan Lucu Kisah Nyata., ditulis Wahid.
Pekan sebelumnya kami memang bertegur sapa melalui Whatapps (WA). Ia mengaku masih ada jatah buku untuk kawan, sehingga saya tak harus membeli. Di dalam hati, kala itu saya berujar seyogyanya karena kawan, kita harus membeli buku diterbitkan, bukan free.
Saya bulak balik isi bukunya. Editornya, wartawan Suradi MS. Mata tertuju ke pengantar dari Tjipta Lesmana, mencapai 14 halaman buku panjangnya. Ini momen langka digoreskan seorang Tjipta.
Tjipta, saya kenal ketika kami pernah sama-sama di majalah SWA, 1986, setelah ia tak lagi di Kompas. Di saat di Kompas ia pernah menulis buku 50 tahun Kompas. Total-total Kompas ia kuliti. Sejatinya buku Tjipta itu wajib dicetak ulang sebagai pembelajaran bagi mahasiswa komunikasi khususnya.
Kuat dugaan saya jajaran teras Kompas-Gramedia tak nyaman dan tak suka kepada Tjipta, karena bunya.
Setelah saya tak menjadi wartawan 1989, saya simak Tiptya pun bekerja menjadi pimpinan sebuah rumah sakit, sambil terus menjadi dosen. Ia saya hubungi, menawarkan jasa desain brosur dan cetakan. Saya ingat, kala itu harga saya kemalahan, dibanding cetakan di Kota, dan agaknya Tjipta marah. Komunikasi kami kemudian seperti tersendat. Saya pun menyesali. Tjipta, kini sudah Professor, memberi pengantar panjang di buku Wahid, berjudul Diplomat-Jurnalis yang Piawai Menulis, menjadi sesuatu. Tiada lama lagi sejatinya layak saya tulis bagi buku Wahid: selain Anda semua wajib baca!
Hingga 1 Januari 2021 ini saya ingin mengulang membaca bukunya. Dari tulisan pengalaman empiriknya, saya menjadi teringat kepada Almarhum Mahbub Junaidi, kolumnis Sketsa, penulis cerdas jenaka. Ambil contoh, setelah berkiprah di Australia, Wahid menjadi Dubes di UAE, di negeri petro dolar itu, ia menemukan bagaimana kata Insya Allah menjadi tak sahih.