SEBATANG Terminalia, daunnya bak lembaran Kelor bergerak ke bawah meneteskan gerimis. Dahannya merentang ke arah pusara. Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat, terasa basah.
Alam seperti tak kuasa menahan duka, Jumat, 9 Oktober 2020. Rayi, penyanyi grup musik RAN, menyemai kelopak Mawar, Melati. Beberapa crew kamera program televisi berpakaian hitam menyorot kamera ke wajahnya.
"Allahu Akbar Allahu Akbar."
Masih terngiang nada serak dilantunkan Rayi. Sebatang jasad, baru saja diazankan, dikhamadkan dan dirata-tanahkan.
Telah dimakamkan Almarhumah Yayuk Rahardjo, Ibundanya Rayi.
Telapak kaki basah saya bercampur lumpur. Tetesan dingin hujan menggelitik telapak kaki ketika berdiri di kanan Budi Rahardjo - - akrab disapa Hank. Ia ayahanda Rayi.
Baik Alamarhumah, mapun Hank, sudah seperti Ibu dan Ayah saya juga. Dari di saat jasad disemayamkan di bilangan Pancoran Selatan, Jakarta Selatan, maupun ketika hendak dishalatkan ke Masjid Kecil, tak jauh dari kediamannya, Hank memperkenalkan saya, "Ini Wandi anak angkat saya." Begitupun ketika saya mengucapkan duka kepada Anjani, putri bontotnya, Hank memperkenalkan saya "anaknya" juga.
Bagaimana cerita?
Nama lengkap saya Narliswandi, suku Piliang. Syahdan, ketika 1981 masuk SMA Negeri 3 Jakarta, kawan-kawan menyapa Wandi. Di saat SMA itu saya aktif di kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Raya (KIR JAYA), sekretariatnya di LIPI, Jl Merdeka Selatan, kini sudah menjadi kawasan kompleks Perpustakaan Nasional. Di organisasi itu saya berkenalan dengan Benny Yusmin, adik bontot Almarhumah Yayuk Rahardjo.
Benny berusia di atas saya. Saking akrabnya Benny menganggap saya seperti adiknya. Acap saya ke kediaman keluarga Benny kala itu di Patamburan, Jakarta Barat.
Ibu Yusmin punya binis catering, sementara ayahandanya, penggubah lagu, memainkan beberapa alat musik terutama piano. Masih ingat bagaimana Pak Yusmin membuat not balok lengkap untuk orkestra. Seingat saya ada beberapa lagu digubah Alm. Pak Yusmin untuk penyanyi era silam, Arie Koemiran.