Lihat ke Halaman Asli

Narliswandi Piliang

TERVERIFIKASI

Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Indonesia Kaya, Harusnya Jokowi Happy Rakyat Apalagi

Diperbarui: 29 Juni 2020   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMERINTAHAN Presiden Jokowi, semestinya tak kekurangan uang. Ia bahkan dapat memberikan Rp 15 juta untuk masing-masing Kepala Keluarga Indonesia, selama 6 bulan, di saat musibah Covid-19.

Hal itu dapat dilakukan, bila sejak 6 tahun lalu, pola pemindah-bukuan mengakali pajak oleh korporasi besar dan sangat besar dengan istilah transfer pricing diproses di pengadilan pajak. 

Sebagaimana acap saya tulis dan sering bunyikan di Twitter, indikasi transfer pricing (TP) setiap tahun 65% dari total transaksi perdagangan. Angkanya pada setahun 2005 saja Rp 1.300 triliun. Maka bila saja Pengadilan Pajak membuktikan 30% dari jumlah kasus, negara dapat uang Rp 390 tiliun, bandingkan devisa dari TKI, TKW, 2005 hanya Rp 70 triliun.

Naiknya transaksi perdagangan, otomatis meninggikan TP tahun berikutnya. Pada 2017 di catatan saya indikasi TP sudah Rp 2.200 triliun. 

Soal ini pernah saya ungkap kepada Capres Jokowi, pada saat Umroh di Minggu tenang di saat di Mekah, 2014. Seorang Zia Hul Haq, Pakistan, dengan ekonomi lebih jelek dari Indonesia bisa mengatakan ke Raja Fahd dulu, "Kami tak mengirim perempuan kami bekerja ke luar negeri karena yakin tak mampu melindungi kehormatannya." Citra kita karena mengirim TKW ke Timur Tengah, sempat bagaikan negeri babu gampang digauli. 

Tidak mudah mengurus TP itu. Korporasi di Indonesia beberapa kolompok kadung sangat besar. Mereka meng-oligarki. Kiprahnya masuk ke ranah trias politika, menjadi pendana utama bagi partai politik, bahkan diduga pun menjadi tempat bridging uang instansi vital negara. Apalagi dengan strategi korporat menempatkan mantan bankir, bintang-bintang eks tentara dan polisi menjadi komut, komisaris. 

Hubungan mereka ke kepolisian, ke tentara, ke kejaksaan, seakan akrab. Dari verifikasi saya, di Pengadilan Pajak, setiap staf Direktorat Pajak, menggugat TP ke mereka, tim DJP, diperlakukan bak tamu, padahal mereka sesama bekerja untuk negara.

Begitulah indikasi kekuatan kapital korporasi mengubah-ubah keadaan. Bahkan masih dari verifikasi, jatah menteri untuk Parpol dilego dengan imbalan uang dari sang calon. Saya menemukan dua nama, terindikasi membayar Rp 500 miliar dan seorang lagi Rp 350 miliar ke Parpol. Uangnya, diduga dari korporasi, terindikasi tajam. Hal ini saya yakini Presiden Jokowi murni tak paham.

Saya teringat kepada 1986-1989 ketika masih menjadi wartawan di SWA. Majalah itu sering bikin diskusi terbatas. Pada 1989 setelah berhenti jadi wartawan, saya mendirikan Jasa Markom, personal branding, dan acap pula bikin diskusi rutin perbankan di Hilton Executive Club, kini Hotel Sultan. Mereka hadir: Kukuh Basuki, BNI, Widarsadipraja, BDN, Omar Abdalla, BBD, Kamardi Arif, BRI, para Dirut bank pemerintah.

Era itu banyak pengusaha punya HGU merencanakan penanaman sawit. Mereka ngintil bankir, dalam bahasa saya, kentut pun para bankir kala itu akan mereka bilang wangi.

Mereka menjaminkan HGU, dapat kredit besar dari bank pemerintah berbunga murah. Dalam verifikasi saya, luasan HGU mereka, lahannya belum diolah, dominan terindikasi lahan di luar HGU digarap, baru kemudian area HGU-nya, total asset menjadi HGU plus. Setelah berproduksi, ekspor CPO dominan TP. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline