WAKTU jelang Zuhur. Azan melalui pengeras suara berkumandang. Tak jauh dari Masjid Banya Bashi di pusat kota Sofia, Bulgaria, 45 hari lalu itu, tampak deretan bangku gerai fast food Mc. Donald. Kursi di trotoar jalanan full terisi, begitupun kedai kopi di sebelahnya. Lalu lintas trem, orang, bergerak seakan otromatis. Beberapa daun di pohon berona kuning, jelang musim gugur. Saya menyeberang di tengah lalu lalang siang.
Memasuki masjid, dinding bebatuan pudar, bata-bata terakota. Udara 15 derajad, Dingin Wudhu menusuk kulit di bagunan masjid didirikan pada 1576, di saat kesultanan Ottoman, Usmaniyah, berjaya di Turki; mereka mara menguasai Bulgaria. Kala mengingat sejarah itulah gadget saya bergetar. Ada pesan whatsapps (WA) masuk. Saya membiarkan berusaha memanfaatkan momen di masjid di Sofia itu kusuk.
Usai ibadah saya keluar melangkah bersama Sandra IP, ke kawasan Boulevard Maria Luiza itu. Mata saya tertuju menyimak petilasan tua sebelum Sofia ada, Romawi telah membangun kota tua Serdica, reruntuhannya di seberang masjid tampak bagaikan kotak-kotak, bangunan dan bebatuan tua bak di dalam kolam terhampar. Sambil meletakkan tangan ke dinding di tepian Serdica, saya membaca pesan dari Irwan Suhanto, aktifis 1998.
"Bung bisa bantu advokasi, ada anak, Tristan, ayahnya teman saya. Ia satu-satunya diundang Ajax Academy sekolah bola di Belanda, sejak tujuh tahun lalu."
"Terbentur dengan ketentuan FIFA, orang tua, ayah mesti ikut mendampingi dan bekerja di sana. Hingga kini belum terfasilitasi."
Melamun sejenak. Teringat akan ide sejak 12 tahun silam, pernah membuat desain logo event #Jugglingidol. Dari sedikit membaca buku, mengetahui, metode Courver, temuan Wiel Couver, menjadi acuan para anak-anak dan remaja dilatih profesional bermain bola di Eropa.
Metode Courver itu, sejak kanak wajib juggling panjang, bahkan sekadar lompat sedikit kaki kanan, kaki kiri, menyentuh lembut bagian atas bola. Atau sekadar senggol bola ke mata kaki kiri dan kanan lurus, lengket di kaki, tipy-tipy istilah Tristan, berulang-ulang, berhari-hari, berbulan-bulan. Handling individu akan Bola mutlak adanya. Sementara power tendangan akan mengalir sesuai ritme waktu dan usia.
Malam kedua sepulang di Jakarta. Seperti biasa ada saja kawan kerabat mampir ke kediaman kami. Sebuah gazebo berlantai ebony, dan di dua pojoknya selalu saya letakkan pohon kelapa, menjadi titik sentral kami kongkow. Kala itulah saya menyimak sebuah map dibawa ayah Tristan, Ivan, di dalamnya berisi foto-foto Tristan Alif Naufal, 14 tahun, bersama hampir dengan semua tokoh dan pejabat kita. Ada menteri, Ketua DPR, hingga Panglima, pernah berfoto dengannya.
Saya tanya Tristan, apakah pernah menonton film Pele?
"Pernah Oom."
Berapa lama kalau Pele juggling, bola tak jatuh ke tanah?