Lihat ke Halaman Asli

Narliswandi Piliang

TERVERIFIKASI

Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Keluar dari Jatuh Tape Hoaks

Diperbarui: 6 November 2018   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TAK terasa 2018, empat hari  jelang peringatan  Hari Pahlawan.  Heroisme berbangsa dan bernegara, akan dikenang  kembali, khususnya pada 10 November nanti. Ingatan akan sosok-sosok pahlawan bangsa, mengilhami saya  menulis hoax, diadaptasi menjadi hoaks. Topik  hoaks, ibarat ibu mengandung, intensinya tenggang  9 bulan terakhir menyasaki ranah media  komunikasi massa kita, terlebih di Social Media (Sosmed).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  V,  versi online, hoaks  berarti berita bohong. Saya, Anda, pembuat, penyebar hoaks, logika dasarnya menjadi pembohong. Semua orang waras, sehat rohani, dipastikan ogah dikatai  pembohong.

Lantas mengapa syurrr kali hoaks menghiasi hari-hari?

Saya amati sejak 2003 terutama, ranah komunikasi publik kita bergeser ke narasi-narasi kecil. Saya pembuat konten, enjoy dengan narasi kecil, karena kekuatannya di  sisi human interest.  Tulisan feature, litarair, deskriptif naratif, tetap menjadi konten dibaca; panjang, bahkan labih 1.000 kata, melawan teori anak jaman now.  Teori milenial online, katanya, cukup menulis setengah halaman kwarto, di kisaran 100-kata, lebih panjang tak dibaca di online.

Usia saya tak milenial memang, sudah 54 tahun. Pegangan saya pun karena studi dan pernah bekerja di komunikasi massa, tetaplah rujukan pondasinya; hati nurani, akal, budi.  Darah segar energinya, membaca buku, verifikasi dengan kerendahan hati.

Karena berpegang dengan cara pandang  text book  komunikasi itu, ketika Twitter masuk ke Indonesia, jejak digital saran saya masih ada. Saya mengatakan setiap medium komunikasi Sosmed punya psikologi penetrasi tersendiri. Twitter dengan interaktifitas cepat, daya penetrasinya membentuk opini di kalangan menengah atas tinggi, tajam.

Saya sarankan kepada pemerintah dulu itu,  dibuat regulasi, Twitter tak boleh anonim, nama samaran. Kalau pun mau ber-anonim, bikin blog, tulisan, contoh,  Munap. Lalu link  URL blog Munap  tarok di Twitter, oleh akun beridentitas. Diskusikan. Jadi berdebat dengan akun jelas.

Twitter sejatinya bisa digunakan sebagai medium berdialektika, setingkat di atas diskusi.

Sayang saran saya itu menguap.

Ketika muncul blog public di Kompas, saya menyarankan kepada Pepih Nugraha, pendiri, agar penulis, pembuat konten identitasnya jelas, tak boleh samaran. Dalam  praktek anonim dibolehkan. Untung belakangan ada himbauan untuk terverifikasi  Kompasiana - - di mana saya saja belum - - kendati menulis sejak 2009. Hee.

Sengkarut hoaks, sudah lama diantisipasi Bill Kovach dan Tom Rosentiel di bukunya Blur. Penulis The Element of Journalism itu mengatakan di saat tsunami inforamasi paling sulit  men-tapis-nya. Saran saya di atas, bagian dari cara menyaring.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline