Sudah sejak lama saya mengalirkan tulisan hari-hari, terlebih dalam ranah sosmed. Begitu pun perihal menjadi konsultan komunikasi politik. Dalam kapasitas kedua, sejak reformasi ini, kami jarang mengajukan proposal. Pondasi saya bekerja memilih mempertajam pakem teori dasar komunikasi dasar, dimana panduannya: hati nurani, akal, budi. Perihal inilah menjadi acuan. Pada awal 2009 saya tertarik menggadang-gadang Joko Widodo, kini presiden, acuan saya ya ini.
Masih di dalam komunikasi, kebersihan hati nurani dilandasi iman, penalaran akal diasup dari banyaknya literasi bacaan, perjalanan, pengalaman hidup, iqra. Sedangkan budi berbatu-asahan mumpuni, antara lain melalui seni; mendengar kehalusan musik, gemulai tarian, lekak-lekuk ornamen ukiran dan seterusnya.
Mereka penikmat seni diharapkan budinya luhur.
Maka kalangan tertentu mewajibkan anak-anak memainkan piano, musik klasik, upaya membekali ibarat gerinda mengosok batu kali berpotensi akik, dilicinkan lalu halus mengkilap. Mungkin begitu seni untuk budi.
Khusus literasi, negara kita masuk urutan 60 dari 61 negara diriset dalam minat membaca buku. Padahal ibarat makanan buku itu nasi, sedangkan koran, majalah, portal online, konten Sosmed; camilan. Jika dibedah ihwal buku, bacaan buku sastra di negara maju seperti di Inggris, karya Shakespeare diwajibkan di tingkat SMP. Untuk lokal acap saya contohkan novel Harimau-Harimau Mochtar Loebis tak ada lagi yang ngeh, padahal pesan moral novel itu dalam: bunuhlah harimau di lubuk hati mu terlebih dahulu.
Dalam keadaan fakir literasi kita berdemokrasi saat ini. Celakanya demokrasi era reformasi kini, bak kata Saefulah, seorang dosen sahabat saya, "Demokrasi di Indonesia menjadi Industri sedangkan demokrasi di Amerika menjadi ideologi." Sebuah padanan membanding jernih.
Mengacu perihal di atas sudah jelang 4 tahun saya mengalirkan banyak waktu bolak-balik Jakarta Palembang. Dan baru belakangan saya sadari kota Palembang kota tertua di Indonesia. Tepatnya 7 Juni lalu berusia 1.335 tahun. Maka ketika medio Ramadan lalu saya ke Bukit Siguntang, di dalam kota Palembang, di saat tafakur di makam-makam raja tua, sempat bulu di tangan saya berdiri mengingat keuzuran kota Palembang seakan lenyap petilasannya.
Dalam latar seperti di atas salah satu propinsi ber-Pilkada Sumatera Selatan, ya ibu kotanya tertua di Indonesia itu. Dalam demokrasi di alam reformasi kini di tengah minimnya literasi dan komunikasi massa atau jurnalisme tak melakukan verifikasi, lantas batas kebenaran dan kebatilan dibuat sumir dikungkung kondisi Demokrasi Menjadi Industri tadi; di mana uang menjadi gampang membolak-balik kebenaran.
Maka di Sumsel saya menemukan calon gubernur terindikasi bermasalah; ada Cawagub terindikasi memiliki ijazah sekolah menengah atas di STM dan SMK sekaligus serta lulusan perguruan tinggi tanpa kuliah. Ada juga cagub gubernur cacad moral, diduga menghamili pembantu tak berani test DNA seperti seorang motivator di Jakarta melakukan dengan sportif. Belum lagi fakta pemakaian Narkoba di keluarga Cawagub, seperti sudah pernah ditangkap beberapa waktu sebelum Ramadan lalu.
Di ranah jurnalisme seakan mati, laku oknum wartawan sosialisasi black campaign bagi lawan politik menjadi hal lazim.
Sebutlah seorang wartawan terindikasi masih keluarganya dulu tidak bersih lingkungan, hari-hari mensosialisasikan politik dinasti. Sasarannya tentu keluarga Alex Noerdin, gubernur saat ini, di mana Dodi Reza Alex, salah satu unggulan kandidat gubernur, puteranya. Pihak diduga sponsor penyebar isu; jelas anaknya menjadi bupati atau juga calon bupati gagal.