Lihat ke Halaman Asli

Narliswandi Piliang

TERVERIFIKASI

Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Making Indonesia 4.0 Sukses di AlQuranWakaf

Diperbarui: 4 April 2018   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: AntaraNews.com

SIANG tadi Presiden Joko Widodo meluncurkan program Making Indonesian 4.0, diinisiasi oleh Kementrian Perindustrian, pimpinan Airlangga Hartarto. Saya mencoba mencari apa premis jernih gerakan ini.

Di media dijelaskan jika hal itu berkait ke percepatan pengembangan industri memasuki dunia online, cyber. Ada  lima fokus pengembangan  manufaktur; makanan, minuman, tekstil, otomotif dan kimia.  Di televisi saya lihat ada  Sukiat,  Kiat Motor, Klaten,  Jawa Tengah,  sosok fenomenon di awal pengembangan mobil Esemka. Kini Mbah Kiat, begitu saya akrab menyapanya, telah melakukan terobosan membuat mobil Ndeso, bertajuk Mahesa,  rencana jual di pasaran di kisaran Rp 70 juta per unit, dua type; bisa untuk generator listrik dan  dapat berfungsi menjadi mesin  penggiling gabah. Maka PT Astra, sudah melakukan kerjasama dengannya memproduksi massal Mahesa. Astra membenamkan dana awal Rp 300 miliar.

Mungkin terobosan itulah bisa dimasukkan ke dalam kategori Making Indonesia 4,0, bertepatan dengan tanggal  empat  bulan empat hari ini, disosialisasikan kepada publik.

Agar tak menerka-nerka  Making Indonesia 4.0 ini barang apa gerangan, maka   saya teringat kepada sosok pria diperkenalkan Adiwarsita Adinegoro kepada saya sepekan lalu. Pria bertutur datar, beraksen Bugis itu,  Milla Lapeda, namanya.

Milla berkutat di bisnis percetakan. Bidang ini tak disebut di  manufaktur prioritas Making Indonesia 4.0. Akan tetapi saya tegelitik pada tajuk 4.0.  Di dalam dunia online 4.0,  hal ini bukan saja berkait ke interaktifitas, tetapi sudah mengarah ke rasa, experiential, unik; konsumen dan produsen menjalin link,  saling berpilin berkelindan  ke dalam suatu ranah untung-untung, bertumbuh kilat, memanfaatkan pasar jaringan  online khsusnya Sosmed.

Syahdan, pada 2005, di bisnis percetakan, penjualan buku referensi  melorot hingga  90%. Perkembangan itu tak menggembirakan. "Buku-buku masakan semula laris di toko buku, lalu pada 2016, penjualannya nol," kata Milla pula, "Bumbu, tata cara masak orang tinggal search di google, bahkan ada video di youtube, putar, tinggal ikuti jadi masakan enak."

Pada 2016 buku novel pun penjualannya drop.

"Kecuali novel sekelas Da Vinci Code, masih bisa diterima pasar, yang lain, pasar hijrah ke gadget," kata Milla.

Dalam sikon demikian perusahaan percetakan banyak gulung tikar.

"Kedepan pun percetakan tiada guna lagi, dunia mengarah ke paperless."

Milla memutar otak. Pada 2009, ia kedatangan CEO  Elseveir, produsen buku-buku text book, seperti kedokteran. Mereka mencetak di BKU, perusahaan percetakan Milla, rata-rata dengan biaya cetak Rp 60 ribu perbuku, tetapi mereka menjual  hingga Rp 3,8 juta satu buku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline