Lihat ke Halaman Asli

Narliswandi Piliang

TERVERIFIKASI

Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Jurnalisme dan Pers Kian Penting di Tengah Konten Sosmed yang Blur dan Miring

Diperbarui: 11 Februari 2018   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://assignmentstudio.net

Presiden Joko Widodo di puncak Hari Pers Nasional kemarin, 9 Februari 2018, di Padang, meyakinkan bahwa medium baru, seperti online, Sosmed tak akan mengalahkan pers dan jurnalistik. Dunia jurnalisme akan terus berkembang dan dibutuhkan.

Di tengah tahun politik saat ini, di tengah sosmed kita diisi pembuat konten tak berbekal prinsip dasar jurnalisme, fakta menjadi blur. Blur, judul buku ditulis Bill Kovach, juga penulis The Element Journalism. Dunia di dalam buku Blur dikatakan tsunami informasi mengalami turbulensi blur, bias-bias diteruskan kian membiaskan. Maka jurnalisme menjadi pondasi filter sejak peradaban tumbuh hingga akhir zaman. Jurnalisme seperti apa?

Jurnalis, media, pers, tetap komit kepada esensi dasar jurnalisme, rendah hati verifikasi tiada henti mencari fakta kebenaran. Laku itu, kudu dilandasi hati nurani, akal dan budi. Inti persoalan seteguh apa dan segigih mana jurnalis tetap menjaga berhati-nurani, berakal dan berbudi?

Akal dan budi tergantung asupan bacaan, pengalaman batin, perjalanan melihat warganya dan mencium peradaban dunia baik pernah biadab terlebih merujuk ke kemuliaan peradaban di mana-mana.

Dalam kerangka di atas, saya ingin membedah heboh konten sosmed pem-bully saya karena: kembali dekatnya Iwan Piliang ke Presiden Joko Widodo. Sebagai pendukung Presiden Jokowi sejak dari Solo, akhir 2008, saya bukanlah tukang pembuat konten sosmed. Sejak lama saya seorang content director dengan fokus tajam sebagai spin doctor di bidang komunikasi publik. Pendidikan saya kebetulan juga komunikasi massa.

Saya datang ke Solo mencari Pak Jokowi, awal Januari 2009, sebagai kawan dengan paradigma sosok bisa ubah bangsa mereka punya produk dan atau jasa masuk pasar. Income-nya independen. Mempersingkat kata, saya memang mendukung hingga menjadi presiden melalui core competence saya.

Saya wartawan mainstream 1984-1989, lalu berbisnis di industri komunikasi dan kreatif --kini trader emas-- lantas era reformasi mengembangkan citizen journalist dan aktif menulis di sosmed. Pondasi saya tetap ruh tiga alinea awal tulisan di kolom ini.

Setelah Pak Jokowi duduk di istana, ketika medio 2015 terjadi pembredelan situs internet Islam, seperti Tarbiyah, saya mengritisi keras kebijakan pemerintah. Jejak digital itu, antara lain, membuat bully akhir pekan ini terhadap saya tajam.

Ruh junalisme masih melekat di dada saya. Penulis senior seperti Amarzan Loebis, TEMPO, pernah mengatakan jika bekal pendidikan jurnalis ada di lubuk hati seseorang, dan menjalankan kewartawanan dengan benar, maka, "Laku seseorang itu bagaikan kena kutukan jurnalisme, ia menjadi insan sangat idealis."

Mengacu ke kalimat Amarzan tadi, maka di dalam dunia bisnis saya acap dituding relasi terlalu idealis hingga saat ini.

"Heboh" saya berada di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, petang 8 Februari 2018, di mana saya hadir di sisi Pak Jokowi, bermula dari pertemuan saya dengan Presiden 22 Januari 2018 di Palembang. Sebagai sosok pernah mendukung dirinya, silaturahim tentulah petuah diajarkan agama, maka ketika dapat bersua, dengan konsisten saya manfaat sebagai spin doctor: Apakah salah saya menyarankan presiden di Hari Pers berkunjung ke rumah kelahiran Adinegoro, tepatnya Djamaloedin Datoek Maradjo Soetan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline