Sebagai penganut Islam, saya baru di usia 53 tahun ini begitu kental menyadari, bahwa agama saya ini mengajarkan umat jernih hatinya. Rasulullah Muhammad SAW., diberi amanah menjadi pemimpin karena hatinya bersih. Di kemudian hari, hati Baginda Rasul itu disucikan, beliau Mi'raj ke langit, menyimak jagad raya, bertemu langit berlapis-lapis, melihat alam menghampar, semesta membentang nir lintas-batas, kuasa Illahi Rabbi.
Saya acap mencontohkan hal kecil bagaimana diri saya menghadapi godaan mengelola hati.
Pagi-pagi hendak ke luar rumah, baru memundurkan mobil, lewat sepeda motor ngebut. Saya kaget. Keluarlah spontan dari mulut kata hewan berkaki empat. Mengumpat. Pekerjaan Rumah paling berat, belum mampu dilakukan, bagaimana mengubah makian menjadi doa; Ya Tuhan selamatkan anak tadi dalam perjalanan pulang dan pergi, sehatkan serta lancarkan rejekinya.
Aamiin.
Berkaca ke sejarah. Rasulullah pernah dalam perjalanan ke masjid ditimpuk kotoran oleh warga di jalan dilaluinya. Beliau membalas dengan senyum. Saya bila dibegitukan pasti menghardik, bisa-bisa membogem. Perlakuan terhadap Rasulullah itu bukan sekali, sehingga begitu lewat di jalan sama, di momen lain tak ditimpuk lagi, ia bertanya kepada warga di sekitar, ke mana sosok rutin melemparinya? Beliau mendapat kabar sosok itu sakit. Ia lalu bergegas bersilaturahim, menjenguk si sakit.
Perilaku Nabi memang tak bisa diperbandingkan dengan kebanyakan kita.
Saya, Anda bukan nabi.
Kehadiran para Nabi ke bumi, terutama untuk memperbaiki akhlak. Intisari akhlak ada di sanubari, lubuk hati, qalbu. Konon pula di hati paling dalam sana ada "ruh" Tuhan. Hingga di sini saya menjadi teringat nyanyian Aa Gym, "Jagalah hati, jangan kau nodai ... jagalah hati lentera hidup ini..."
Studi saya dua, Komunikasi Massa dan Hukum. Di teori pengantar dasar ilmu komunikasi tertera dalam text book bahwa ruh dasar komunikasi itu hati nurani, akal, budi. Panduan hati, menggiring pikir, nalar. Ibarat CPU komputer benak harus diisi melalui iqra, membaca, buku terutama. Bacaan-bacaan sastera mengasah budi. Maka wajar di negera seperti Inggris karya klasik seperti Shakespeare, diwajibkan baca bagi mereka di level SMP. Berbeza sekali misalnya salah satu novel terbaik Mochtar Loebis, bertajuk Harimau-Hariamau, boro-boro diwajibkan kini, diketahui saja judulnya tiada lagi. Padahal premis novel Mochtar ada di bagian akhir, bahwa sebagai insan kita harus membunuh dulu harimau di dalam diri ini. Artinya lagi-lagi literasi hati.
Maka dalam kasus Ustad Abdul Somad ditolak masuk ke Hongkong, sempat dikomentari wartawan Top Skor, Zulfikar Akbar, melalui akun Twitternya @zoelfick.
"Ada pemuka agama rusuh ditolak di Hong Kong, alih2 berkaca justru menyalahkan negara orang. Jika Anda bertamu dan pemilik rumah menolak, itu hak yang punya rumah. Tidak perlu teriak di mana2 bahwa Anda ditolak. Sepanjang Anda diyakini mmg baik, penolakan itu takkan terjadi."