Jakarta di Selasa pagi ini mendung. Cuaca cenderung gelap, tidak biasanya. Pohon Terminalia di tengah halaman depan, berdaun seukuran jempol, kehijauannya disaput angin bergerak bak gemericik air menari-nari. Di bilangan pemukiman kami, baru saja lewat tukang sayur mendorong gerobak bermantel plastik tipis. Ia bersandal jepit berbulir air menciprat ke belakang langkah. Saya mengamati momen itu dalam setitik Ibu Kota di hujan rintik. "Sayur, sayur ...," suara di lingkungan kami di bilangan pusat Jakarta.
Berbeda agaknya suasana di Munaslub Partai Golkar, dilangsungkan di JCC, Senayan, Jakarta, sudah dibuka oleh Presiden Jokowi. Tadi malam itu saya simak suasana gerrr. Presiden Jokowi membuka Munaslub dengan canda.
"Di Golkar ada grup besar-besar..."
"Bersaing kekuatan besar PDIP ... Golkar...."
"Kalau PDIP di sini ada Ibu Ketua Umum ... yang bisa menjelaskan, bila tak ada Ibu Ketua umum saya yang jawab ...," Jokowi tertawa.
Suasana kian gerrr.
Tak demikian dengan mereka peserta Munaslub Partai Golkar. Mereka di DPD II khususnya, beberapa saya amati bertanya-tanya akan kiprah partainya setelah Setya Novanto, ditetapkan sebagai terdakwa di kasus korupsi e-KTP. Ia diberhentikan sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Lantas dilangsungkan Rapat Pleno, menetapkan Airlangga Hartarto ketua umum. Dalam rapat pleno itu disampaikan pula perihal pengangkatan Airlangga dilakukan dalam Munaslub.
Sudah rahasia umum, bila penetapan Airlangga itu sebuah skenario kudu. Mesti. Artinya wajib ia ketua umum. Sehingga ketika sosok Titiek Soeharto menyatakan keinginan menjadi Caketum Golkar di Munaslub seakan gayung tidak bersambut. Perihal itu mulai tercermin ketika Titiek mengumpulkan sesepuh Golkar di Cendana 8-9 pekan lalu. Di sana terdapat silang pendapat mereka. Ada sosok mendukung dan ada ragu. Akbar Tanjung sendiri menjadi juru bicara ke pers di pertemuan Cendana itu mendukung Titiek maju, tapi tadi malam malahan mengatakan, "Airlangga sebagai Ketua Umum harus hingga 2022."
Begitulah politik.
Saya sebagai pribadi mendukung Titiek Soeharto maju meraih ketua umum Golkar. Posisi saya pernah menjadi anggota HIPMI, dilantik 1991, seangkatan dengan Bambang Soesatyo, kini nominasi Ketua DPR, juga menjadi pengurus di Kadin Indonesia. Di kedua organisasi itu kami berafiliasi ke Golkar. Saya tak berjibaku di partai, namun peduli kepada tumbuhnya demokrasi Pancasila riil menempatkan keinsanan di atas kebendaan.
Dalam kerangka keinsananan itulah saya mendukung Titiek.