Demokrasi di Indonesia sesuai dengan butir Pancasila, menempatkan kemuliaan diksi demokrasi ke dalam musyawarah mufakat. Era lalu, musyawarah menuju mufakat itu menantang keluhuran budi para pengambil keputusan. Berbeda sekali dengan sejak reformasi, walau dasar negara kita tetap Pancasila, sejatinya demokrasi beralih kepada one man one vote, hitungan suara, sebagai jalan utama pengambilan keputusan.
Dalam pelaksanaan, hitungan angka ini merujuk kepada adu kuat kapital, adu sandera kepentingan, khususnya di lingkup parlemen. Dalam bahasa saya menghasilkan parlemen fulus mulus, sejatinya sama dengan langgam preman, bedanya otot berganti uang.
Presiden Soeharto dengan kebijakan memimpin memberikan banyak pembelajaran. Pembelajaran sebagai pemimpin mungkin alpa disimak khalayak, namun mengacu ke sendi keluhuran budi, salah satu pergilah ke pasar-pasar di tanah air.
Anda kini akan dominan menyimak timbangan di-tera dengan stempel terakhir 1997-1998. Seorang pemimpin, wajib hukumnya mengakuratkan timbangan dalam jual beli, terutama di pasar-pasar. Di dalam Islam mengakuratkan timbangan, sama kewajibannnya dengan shalat fardu.
Pak Harto, peduli rumah ibadah bersih. Ia secara khusus membangun 999 masjid melalui Yayasan Muslim Pancasila. Simaklah masjid itu, ruang toilet terbuka, gampang untuk dibersihkan. Masih di dalam Islam, kebersihan sebagian dari iman. orang beriman tidak memakan hak orang lain. Itulah pesan ingin disampaikan Presiden Soeharto. Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi tak ada di eranya, simbol kebersihan lahir dan batin, lebih diagungkan menghindari korupsi.
Era Pak Harto dihujat sebagai kepemimpinan korupsi, tentu korupsi bukan tak ada. Namun bocornya anggaran dapat dikendalikan di rentang angka tak sampai 2,5%. Satu dua kasus besar memang ada, akan tetapi diproses hukum tanpa membuat "guncang" sendi kehidupan. Bandingkan dengan era kini, di beberapa wilayah bocornya anggaran negara dan bangsa mencapai di atas 35%, Adanya KPK tak menjamin korupsi kian surut. Kerugian intangible dengan adanya KPK, media penuh sesak isu negatif korupsi sampai-sampai berita prestasi untuk membangun dan menggugah dignity tak muncul lagi.
Saya menjadi teringat, pada Januari-November 2015 KOMPAS pernah memuat tulisan, bagaimana harian ini mentabulasi diksi korupsi ditulis setiap tahun sejak 1965- Oktober 2015. Pada 1965, KOMPAS hanya menulis kata korupsi sebanyak 444. Mereka pernah juga menulis kasus korupsi pembangunan pagar pabrik gula 1965 itu. Di Tajuk Rencana dengan isi hukum mati koruptor, sama dengan lema dominan saat ini. Anehnya dari Januari hingga Oktober 2015, di KOMPAS ditulis lebih dari 140 ribu kata korupsi, dan korupsi tak kian susut, justeru kian menggila.
Amat disayangkan lakon korupsi salah satu terbesar sedang hangat diungkap soal E-KTP, di mana melibatkan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Saya duga Pak Harto, sebagai pendiri Golkar, di alam kuburnya, sangat kecewa. Ia kecewa anak-anak bangsa saat ini meninggalkan keluhuran budi.
Setiap jelang Ramadan Pak Harto selalu bertemu di Istana Negara dengan para ulama. Ia berbincang tentang kehidupan beragama, toleransi, umat. Di era Pak Harto tak pernah ada presiden mengundang konglomerat dan duduk bersama dengan ulama lalu mencitrakan ulama kere dan konglomerat kaya mesti membantu.
Di Pak Harto pula, ia paham ranah hukum krusial. Ia selalu memilih menteri hukum dari mereka para bintang di ranah hukum dan, ini sangat penting, mereka Muslim. Mengapa? Ia bukan asal membuat keputusan. Ia menyadari bahwa warga di Indonesia dominan Muslim. Maka menteri Hukum, adalah Muslim. Karena banyak hal berururusan dengan dominan warga Muslim memiliki ilmu hukum tersendiri. Ada ruh kebijakan di sini. Berbeda sekali dengan saat ini, di mana Presiden RI, Jokowi.
Sang Presiden saya simak kini lintanng-pukang mendekati umat demi bisa terpilih lagi menjadi presiden, namun tanpa ia sadari pemilihan menteri hukumnya mencederai perasaan umat; dalam keputusan Perppu Ormas, contohnya. Lebih dari itu, Presiden Soeharto pernah dicap liberal, kejawen, ia sama sekali tidak pernah menetapkan Aliran Kepercayaan sebagai agama, baru di era Presiden Jokowi saat ini dilakukan. Bandingkan dengan Pak Harto, lebih mengerti perihal hakiki..