Saya membuka tulisan pertama di 2013, pada 8 Januari menjadi headline di Kompasiana. Tulisan opini berjudul Habibie dan Ainun Serta Industri Diperkosa, dibaca oleh 53.393 internet protokol (IP), linknya http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/01/08/opini-habibie-ainun-serta-industri-diperkosa-523397.html Dan ketika menutup 2013 juga tanpa saya duga menjadi headline. Tulisan berjudul Putihkan Koruptor Hapuskan Diksi Korupsi di link ini http://hukum.kompasiana.com/2013/12/31/opini-putihkan-koruptor-hapuskan-diksi-korupsi-622893.html
Berdasarkan hal di atas membuka lembaran 2014 ini, saya tertarik untuk mentabulasi data tulisan saya di Kompasiana. Total tulisan saya selama setahun 56. Itu artinya dalam sepakan saya rata-rata menulis satu naskah. Dari total tulisan itu, 39 Opini dan sisanya 17 adalah Sketsa. Sketsa saya angkat dari reportase. Opini kendati pun pendapat, dominan saya tulis dari pengalaman empirik ataupun dari membaca berbagai sumber.
Dari keseluruhan tulisan yang 56 itu, total Internet Protokol (IP) yang membaca tulisan saya mencapai 182.161. Pembaca tertinggi di bulan Januari 2013, mencapai 83.300 sumber IP, kedua di April 20. 546 dan ketiga di Juni 14.073. Dan yang terendah di bulan Mei 1.864. Mengapa Mei pembaca sepi? Mengingat di bulan itu saya hanya menulis hanya dua opini. Jumlah tulisan terbanyak dalam sebulan, yakni di bulan Juli, sesuai dengan urutsan bulan, yakni 7 tulisan; 5 opini dan 2 sketsa.
Dari 56 tulisan itu, menjadi headline 11; Januari 1, April 1, Juli 2, September 3, Oktober 2, November dan Desember masing-masing satu. Dari 11 yang menjadi headline ada 6 sketsa dan 5 opini.
Apalah artinya angka?
Dari data, kita bisa dapat berkaca. Seperti, mengapa sketsa lebih banyak menjadi headline? Biasanya saya menulis sketsa, berdasarkan reportase. Sejak awal 2000, saya mencoba belajar menulis literair, deskriptif naratif, maunya sih, seperti tulisan-tulisan dimuat majalah The New Yorker, laksana Jhon Hersey menulis Hiroshima. Buku Hiroshima, pernah dihadiahkan oleh Janet Steele, pengajar Literary Jounalism di George Washinton Universitry, kepada saya usai mengikuti wokshop penulisan literair (jurnalisme sastrawi, ada yang mengistilahkan demikian) di Komunitas Utan Kayu, 2003.
Lebih dari itu, buku Hiroshima memang begitu membekas di benak saya. Karena itulah hingga hari ini verifikasi kasus pembunahan David Hartanto Wijaya, belum juga tuntas saya lakukan sehingga rekonstruksi kisahnya belum saya bukukan, masih ada masalah laptopnya, belum diforensik digital di negara independen. Sebagain kecil rangkaian sketsa David sudah pernah saya tulis berseri di blog ini antara lain pada 2009 lalu.
Dan di tengah kasus David belum tuntas, saya baca pada 9 Desember 2013 meninggal satu lagi anak pintar Indonesia di Delf, Belanda. Ia adalah Kaisar Siregar, akrab disapa Ical. Sosoknya menyelesaikan S1 di ITB, Bandung, dalam tempo kilat 2,5 tahun. Atas kecemerlangan otaknya, ia menjadi asisten dosen untuk 3 mata kuliah di ITB, antara lain untuk mata kuliah matematika diskrit. Mengapa Ical bisa tewas di saat ia mengambil bea siswa S2?
Entah karena bangsa dan negara sibuk dengan isu korupsi sehingga menutup berita lain, sebagaimana tulisan headline saya 31 Desember 2013 lalu, entahlah? Bagi saya jika perhatian kita kepada keinsanan sepi, menggampangkan, membiarkan sepi pergi, maka tidak akan pernah peradaban bangsa kita maju.
Atas dasar pengalaman menulis itulah, saya kian sadar, kian lebih banyak lagi menulis. Karena sejatinya menulis bukan menulis, tetapi menulis adalah: 1. Membaca, 2. Mengunakan segenap indera, 3. Bertanya. 4. Menggunakan dan memanfaat waktu. 5. Menentukan premis, 6. Melatih keikhlasan - - apalagi di blog publik tidak berbayar 7. Berbuat dengan riang gembira (enjoy), sehingga tulisan enak dibaca.
Ketujuh hal tadi acap saya sosialisasikan sebagai kiat menulis. Sedangkan dalam konteks jurnalisme saya mensarikan 9 elemen jurnalisme Bill Kovack dan Tom Rosentiel, sebagai: kerendah-hatian verifikasi tiada henti, dan juranalis diperkenankan mengikuti hati urani personalnya - - elemen ke-9.