Lihat ke Halaman Asli

Narliswandi Piliang

TERVERIFIKASI

Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Citizen Reporter Belajar ke Pedagang Gulali

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_153129" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Reportase, agaknya sebuah kata yang kini menjadi mahal. Namun kerendah-hatian melakukan, memverifikasi, mengantarkan kepada penemuan "kesederhanaan" luar biasa. Tulisan berikut barang lama. Saya menyukai sumbernya. Di tengah hiruk-pikuk bicara Bentley anggota DPR dan korupsi lintas lini kini, kegigihan seorang Oyok pedagang Gulali di Jogja, mengantarkan pembelajaran kemuliaan. TIDAK semua pedagang kaki lima di ruas pertokoan di sepanjang jalan Malioboro, Jogyakarta, adalah penyewa lapak di emperan sela toko. Di sana banyak pula pedagang kaki lima serabutan. Setiap pagi pengasong tak berlapak itu, di sekitar pukul 09.00, sudah memasang mata elang. Mereka menatap tajam ke gerobak tak datang. Lapak tak bergerobak, sebagai penanda tempat tak bertuan di hari itu. Pengasong, termasuk penjaja jasa pembuatan kalung nama dari plat baja nir karat (stainless steel), mengincar tempat mangkal. Mereka lalu memberi tanda dengan meletakkan sebuah batu di tempat itu. Pas jarum jam menunjukkan pukul sebelas, jika sang pemilik lapak tidak muncul, maka itu artinya, sosok pemberi batu, sebagai penanda tadi, boleh mengisi. Rabu, 20 Agustus 2008, pukul 14.30, di pertengahan jalan di seberang ATM BCA, di Malioboro. Di depan sebuah toko t-shirt, Oyok - - begitu namanya tertulis di KTP - - pria 38 tahun, berjualan gulali (kembang gula), sejak 2006, lalu. Di depan kotak gulalinya, bagaikan tas koper metal berukuran sedang, di atasnya berderet gulali yang sudah dibentuk kuda, mawar, kecubung, hati, bahkan ada raket tenis. Kesemuanya bertangkai berbilah bambu berbungkus plastik bening. “Boleh mas gulali,” kata Oyok. Jalan saya terhenti. Di antara pedagang batik, tas, aksesori mendominasi, jualan pedagang ini mencuri hati. “Dua ribu satu, Mas.” Di kota-kota besar, pedagang gulali, sudah agak jarang jumpa. Yang ada di depan mata saya, bukanlah gulali ditiup mulut dalam proses pembuatannya. Lelehan gula kental melekat pekat itu dibentuk jari. Oyok hanya memainkan dua warna; hijau kecoklatan, oranye kemerah-merahan. Saya membeli satu kuda, satu mawar dan satu gulali berbentuk hati. Pria berperawakan kecil, berbaju kotak-kotak pudar bercelana jeans belel itu, tampak senang. Saya perhatikan ada dingklik di belakang duduknya. Sembari membunuh penat karena menelusuri Malioboro yang panjang, menyimak pedagang gulali ini memainkan jemari memilin-milin gula, memberi kesan tersendiri. “Sehari rata-rata saya menghabiskan dua kilogram gula,” ujar Oyok. Belasan macam produk bisa ia bentuk. Tak jauh dari saya duduk, tampak becak parkir. Saya tanyakan kepada Oyok, apakah bisa membuat pesanan produk, selain yang sudah ia pajang. “Ya bisa Mas.” Bagaimana kalau becak? “Bisa, tapi kurang bagus.” Sepeda? “Bisa. Saya jamin bagus.” Saya nyalakan stop watch di jam. Untuk membuat sebuah gulali sepeda, Oyok menghabiskan 4 menit 10 detik. Tetapi ketika memasukkan ke dalam plastik, sepeda itu patah. Gulali yang sudah mengeras itu, ia pilah lagi, warna hijau dikembalikan ke tempatnya di wajan kecil yang berpembatas dengan merah. Kembali Oyok memilin gula, dengan dua batang kayu laksana stick penabuh drum. Kali ini ia tampak lebih hati-hati. Saya hitung lebih 6 menit, jadi sepeda satu. Agaknya, karena lebih berhati-hati, sepeda itu tidak patah diplastikkan. Bila membuat kuda, Oyok hanya menghabiskan tempo 3 menit. Harga produk pesanan khusus dibanding yang massal terpajang; padha, Rp 2 ribu perbuah, tidak berbeza. Kendati ada nilai tambah, taylor made, Oyok tidak membandrol khusus. Untuk berlatih membuat mancaragam produk itu, Oyok mengaku belajar enam bulan. Ketika hampir sejam di situ, dua orang gadis mampir. Ia memperhatikan dagangan Oyok. Tak lama kemudian sebuah gulali berbentuk hati laku. Itu artinya dalam hampir sejam penjualannya Rp 10 ribu. Oyok enggan menyebutkan omsetnya sehari. Tetapi untuk membayar uang kost Rp 150/bulan di sebuah gang tak jauh dari lokasi, makan, dan keperluan sehari-hari tertutupi. “Yang penting tiga anak saya yang masih SD bisa sekolah dari jualan gulali ini,” tuturnya. Tiga orang anaknya bersekolah di kampungnya, di Godok, di sebuah desa nun berjarak 7 kilometer dari kota Garut, Jawa Barat. Demi perjuangan memenuhi kebutuhan hidup, Oyok rela berpisah dengan keluarga. “Kalau banyak rezeki, ya, paling tidak bisa pulang dua bulan sekali ke Garut,” katanya. Dulunya, Oyok adalah tukang sol sepatu. Dalam perjalanan waktu, ia melihat banyak pedagang sukses hanya dari berjualan gulali di kampungnya. Ia pun beralih menjajal peruntungan “dipermainan” gula-menggula. Kini, sudah hampir 80% pria desa Godok, Garut, berprofesi pembuat gulali. Dan semua pedagang Gulali di Jogja, adalah pendatang dari Garut. “Kini ada pula satu dua orang sini yang belajar ke kami, tetapi belum ada yang berusaha komersial,” tuturnya. Contoh pengusaha gulali sukses, menurut Oyok, jika mereka bisa berjualan di mal-mal di kota besar, terutama di Jakarta. Di tempat seperti itu, harga jual lebih mahal, dan pembeli lebih banyak. Sebaliknya modalnya sama saja: gula, pewarna makanan, sesase vanilla, sebagai aroma. Berjualan di mal kini menjadi mimpi bagi Oyok. Sebuah mimpi, memang bisa jadi jauh dari gapaian bila dibanding posisinya hari ini: Untuk mencari tempat berjualan saja, setiap hari ia harus mengintip lapak kosong, dan harus berpindah-pindah tempat, tentu. Untungnya peralatan kerjanya compact. Sebuah kompor kecil, tempat minyak tanahnya selebar telapak tangan, khusus dibuat dan didatangkan dari Garut. Hanya dua sumbu yang dinyalakan dengan api kecil, sehingga adonan gula tetap lentur, setiap saat siap dipilin dibentuk dan ditarik ulur. Wadah kerjanya laksana koper metal berukuran sedang berberat tak lebih 6 kilogram, gampang ditenteng-tenteng. Kiranya kemudahan membawa peralatan kerja itulah, alasan lain bagi Oyok beralih profesi dari men-sol sepatu. Oyok kemudian memainkan lagi gula panas. Ia tarik ulur. Tampak benang-benang gula tercerabut bening. Rupanya benang bening itu sebagai pembentuk tali kuda. Bulu-bulu leher kuda ia bentuk dengan memberi ornamen bergerigi dengan memakai gunting kecil. Ketika gunting dimainkan, ingatan saya mengembara tertuju kepada pembuat kristal, nun jauh di pulau Burano, dekat Venisia, Italia. PADA medio 1994 lalu saya berkesempatan berjalan-jalan keliling Italia. Di pulau kecil Burano, saya menyimak beberapa pria paruh baya di tungku-tungku panas menjulurkan stick besi, namun tidak seukuran stick yang dipakai Oyok membuat gulali, melainkan mencapai hampir dua meter lebih panjangnya. Di bagian ujung stick itu, gumpalan kaca kristal dibakar ditungku panas. Gumpalan kaca yang lembek seakan hampir meleleh, lalu ditiup dari tuas di ujung di bagian lengan. Kemudian sambil dibentuk, laksana Oyok membuat gulali, bahkan mirip abis; ada bagian yang juga digunting, maka jadilah produk; cangkir, hingga kuda kristal. Masih ingat di benak saya salah satu pembuat kristal itu menyapa, “Apa kabar? Liburan tahun ini saya ke Bali lagi. Luar biasa Bali. Saya suka sekali dengan Ubud!” Saya lalu ternganga. Pria pembuat kristal itu bisa berbahasa Indonesia, dan menjadikan Bali sebagai salah satu tujuan liburannya. Tentulah antara bumi dan langit, jika membandingkan hidup Oyok dengan pengrajin kristal di Italia itu. Oyok, sekadar bisa bertemu isteri dan anak-anaknya, sudah menjadi kemewahan, apatah pula sebuah liburan, yang hampir belum pernah ia jalani sejak hayat dikandung badan. Terkadang, Oyok harus menahan rindu kepada keluarga hingga tangan berpangku menupang dagu. Untuk menggenapi ongkos pulang dan sekadar tabungan receh agar bisa kembali balik merambah Jogyakarta - - mengikuti rutinitas sehari-hari - - pikiran itulah yang membuncah di benak Oyok saban hari. Dan saya amati dari sosoknya yang polos bersabar menunggu pembeli, bersitegang hati mencari lokasi berjualan setiap hari, menjadikannya sebagai sosok pedagang menyerah pantang. “BANG, abang dari Padang ya?” Pemuda penjual kalung, name tag, termasuk nama dari bahan metal buatan tangan yang berjualan di sebelah Oyok mengusik lamunan saya. Saya jawab iya “Kenalkan, saya Oki, dari Batusangkar,” ujarnya pula, “Biasanya saya tak pernah mau bicara dan mengaku orang Padang. Saya banyak perhatikan orang Padang yang lewat sini banyak sombong. Saya dengar Abang banyak tanya, mau mendengar cerita-cerita Mas Oyok.” Belum sempat saya berujar, Oki sudah nyerocos lagi, “Apa kerja Bang?” Saya tatap wajah Oki. Sebetulnya enggan hati ini mengaku. Dari tatapannya saya lihat sebuah ketulusan ingin tahu. Saya katakan saya jurnalis, cuma untuk media alternatif yang tidak bergaji, itupun di online di internet, dibaca kalangan terbatas . “Wah Bang, tolong Bang, tolong!” Ia berdiri. Lalu mengambil buntelan kresek, mengeluarkan dua block note berukuran sedang. Bengong saya sesaat. Sekilas saya perhatikan Oyok sudah asyik kembali dengan gulalinya. “Saya ini bertekad menjadi penulis skenario film layar lebar. SD saja saya tak tamat, namun tekad saya bulat, ingin menjadi penulis naskah film, bukan sinetron,” ujar Oki. Ia meminta saya membaca tulisan yang sudah dibuatnya. Saya perhatikan apa yang ditulis, sebuah opini tentang pengalaman kepahitan hidup. Ayahnya beristeri enam orang. Kata-kata kasar dan sumpah serapah sering diterima Oki ketika kecil, sering diucapkan orang tuanya,”Kamu ini anak yang tak membawa untung.” Kemarahan sumpah yang sama, yang diucapkan kedua orang tuanya semasa Oki kecil, membuat dirinya “lari” minggat memendam pilu. Keterbatasan ekonomi keluarga, membawanya mara ke tanah Jawa, ke Jogya: dari otodidak menggambar, menjadi pembuat tato, kini naik kelas ke pedagang aneka kalung meta, menerima pesanan huruf hias buatan tangan. Di saat saya menulis urut-urutan naskah film; mulai dari premis, sinopsis, lalu skenario, dua anak muda memesan nama tujuh huruf. Sambil menggergaji pelat 1,5 mm, ia mendengar penjelasan singkat saya takzim. Waktu sudah pukul 16.15 petang. Saya pamit. Oki minta nomor HP saya. Bila tidak ada janji kembali dengan kawan-kawan peserta pelatihan Jurnalisme Investigasi, 19 -21 Agustus 2008 yang diadakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) - - di antara peserta adalah relawan kependudukan; termasuk waria, gay, lesbian dan PSK - - pastilah saya didaulat untuk terus mencangkung di situ. Ketika berjabatan tangan, Oki lalu memeluk badan saya erat. Erat sekali. Entah karena terkesima dengan cara Oki mendekap, Oyok pun melakukan hal sama. Saya lihat ketulusan hati dari dua sosok pengusaha di bilangan Malioboro, Jogja, itu. “Kami ini senasib Bang, setiap hari harus mengintai tempat kosong, agar bisa berjualan,” ujar Oyok. Sesampai di kantor PKBI, di bilangan Badran, Jogja, sebagai fasilitator pelatihan di saat saya harus berdiskusi menutupi sesi hari kedua bersama 23 peserta, SMS dari Oki masuk. Ia memberi alamat ibunya, Yurni Bahar, Kantor Camat VII, Koto Sungai Sarik, Pariaman, Sumatera Barat. Dalam hati saya, agaknya, Oki sudah lama nian tak bersua dengan bundanya. SMS itu membuat saya taragak (terkenang) akan kampung jauh di mato. Melihat tajam tatapan mata Oki, juga kegigihan Oyok, saya hakkul yakin, suatu saat Oki akan menjadi penulis naskah film yang hebat. Dan Oyok akan menjadi penjual gulali di mal besar di kota besar, dengan beragam inovasi produk gulalinya. Amin! Iwan Piliang, Citizen Reprter, disela-sela menjadi fasilitator pelatihan jurnalisme investigasi, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jogyakarta, 19-21 Agustus 2008.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline