Lihat ke Halaman Asli

Narliswandi Piliang

TERVERIFIKASI

Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Sketsa: Garong Tambun Timah “Legal”?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_323113" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] JUMAT malam di ruang Bali, Hotel Indonesia Kempenski, Jakarta, berlangsung ulang tahun ke-10 majalah Men Obsession. Pimpinan Umumnya Usamah Hisyam, akrab disapa Uka, mantan anggota DPR 2004-2009, dulu wartawan majalah Matra. Ia bergabung ke majalah pria itu setelah sy meninggalkan penerbitan mainstream itu. Tak sengaja, saya didudukkan panitia di meja di mana di kanan saya ada Dirut PT Timah Tbk, Sukrisno. Seakan pucuk dicinta ulam tiba, mengingat kasus perampokan mineral timah di Bangka-Belitung terus saya verifikasi. Momen itu saya gunakan untuk sekadar bertanya satu dua. Terutama saya menguji Merah-Putih sang Dirut. PT Timah Tbk, BUMN pemilik étama Kuasa Pertambangan (KP) di Bangka –Belitung, ekspornya kalah oleh pemegang KP swasta lain-lain hanya 3% dari KP Timah, seluas 580 ribu hektar lebih. Rata-rata produksi PT Timah 35.000 ton pertahun. KP PT Kobatin hanya 27 ribu hektar. “Tapi mereka bisa berproduksi 60% dari produksi PT Timah.” “Kalau sudah begitu dari mana kapenya, jika bukan menggarap lahan kami.” “Itu artinya ilegal mining,” kata Sukrisno. Perihal ini sudah berlangsung menahun, lama. Terutama sejak reformasi ini. Saya pernah menulis dengan judul Dari Timah Saja Bangsa Ini Terkaya. Ini linknya. Sukrisno mengaku sudah membuka perihal ini ke mana-mana. Ke DPR, ke Panglima TNI, ke Kapolri. Namun peristiwa penjarahan timah Bangka-Belitung, sebagaimana sejak lama saya verifikasi, pemainnya terkadang oknum berwenang, oknum polisi dan TNI, tak terkecuali pengusaha abu-abu. Bagaimana bisa di sebuah pantai jelas-jelas bukan untuk kawasan tambang, kini menjamur kapal-kapal kecil yang menghisap pasir menderu nyaring setiap hari. Jumlah kapal di atas 6.000. Kawasan pesisir dominan rusak, jumlah hasil tambang riil, tak bisa dideteksi. Dua pekan lalu di media sudah tersiar kabar, bahwa Kapolda Bangka-Balitung Brigjen Pol Budi Hartono Untung, dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atas dugaan kepemilikan kapal hisap. Ini pejabat kini, di masa lalu, sosok Susno Duadji, diduga juga punya KP Timah di Bangka. Kepada media Susno sudah membantahnya. Belum lagi nama-nama lain? Lalu berbagai bantahan dilayangkan pihak terindikasi, tak mengurangi mengalirnya ribuan ton timah illegal mara ke manca negara. Bagaimana bisa Singapura dan Malaysia tidak lagi memproduksi timah, di neraca perdagangannya sebagai eksportir timah dunia besar? Indonesia eksportir timah dunia terbesar, hingga hari ini bukanlah negara penentu harga timah dunia. Tambahan lagi, saya menduga biaya produksi menambang timah di Bangka Belitung terdendah di dunia, mengingat untuk mendapatkan komposisi timah 0,9% saja, Cina harus menambang hingga jarak 200 km. Sementara di Bangka-Belitung, hanya tinggal hisap kandungan timah bisa mencapai 70%. Dan selama ini publik dominan buta, bak PT Freeport di Papua, menyiarkan lama bahwa mereka hanya menambang tembaga sahaja. Padahal Freeport dominan juga menambang emas. Di penambangan timah Babel, ada mineral diistilahkan bahan Mineral Tanah Jarang, sebagai ikutannya. Di dalamnya ada zircone, elminite, thoriumsatu (bahan nuklir). Thorium menurut harga pasar saat ini mencapai Rp 25 juta per kilogram. Dan menurut data jaringan lembaga swadaya masyarakat yang pernah mengundang saya sebagai pembicara untuk masalah jurnalisme di Pangkal Pinang, bahan tambang ikutan itu dilego di kisaran Rp 7 juta perton. Itu artinya harga obral tak berkira. Maka, kalau di Bangka-Belitung keadaan sudah bak daerah “tak bertuan” kini, itu karena kekayaan alamnya tak berkira. Ketika saya ke Pangkal Pinang tahun lalu saya kritisi sosok Hidayat, pengusaha tambang, yang menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saya pertanyakan atas dasar apa orang tak punya dasar tulis-menulis, jurnalisme, bisa menjadi Ketua PWI? Kata kawan-kawan di lapangan ia punya Koran. Saya simak di korannya Hidayat hari-hari memajang dirinya berfoto dengan Kapolda, Danrem. Sosok Hidayat diduga pelaku illegal mining, abu-abu. Untunglah atas dorongan saya di media sosial dan kawan-kawan di Pangkal Pinang, Hidayat kini sudah mundur sebagai ketua PWI. Namun saya menduga kaki tangannya tetap mencengkeram. Dan di daerah seperti di Babel, atribut memang menjadi andalan, tak terkecuali atribut wartawan untuk menakut-nakuti, apalagi atribut aparat, plus pula atribut dan emblem lembaga itu dan itu bentukan warga dan kaki tangan penambang illegal. Sehingga wajar beberapa pihak yang peduli akan nasib bangsa ini di Babel mengalami rasa frustasi. Toh seorang Dirut PT Timah Tbk saja lintang pukang ke sana- kemari membukakan mata publik, mata pemangku kuasa, negeri yang hari-hari dibuat bancakan oleh trias politikanya ini. @iwanpiliang citizen reporter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline