Masih ingat dengan tuduhan NGO bahwa illegal logging yang menyebabkan banjir bandang Wasior? Pejabat langsung membantahnya. Tak kurang presiden sendiri. Saya memahami bantahan tersebut, sebab bisa jadi bukan illegal loging, melainkan legal logging. Legal logging yang massive dan destructive bisa jadi telah terjadi sebelumnya dan tentusaja biang keladi penyebab kerusakan tersebut. Mengapa legal? Karena semua perusahaan mempunyai izin logging, manalah mungkin mereka illegal. Jadi istilah illegal logging kalau tidak hati-hati, selain menangkap penebang pohon tak berijin, juga akan menangkap rakyat pencari kayu bakar atau masyarakat yang mau memperbaiki rumah. Anda tahulah soal menangkap pihak berizin besar biasanya ujung-ujungnya damai. Selain itu, ada ironi lainnya dalam kehutanan kita. Sebab, ada jutaan orang Indonesia tiba-tiba menjadi kehilangan hak atas tanahnya. Sebab, kawasan hutan di Indonesia ditunjuk secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan untuk dibagi menjadi kawasan hutan produksi dan non produksi. Berapa jumlah manusia yang berada dalam kawasan kehutanan yang ditunjuk sepihak itu? Sebuah studi menyebutkan angka 68 juta jiwa. Setelah ditunjuk mau diapakan hutan-hutan itu? Saat ini, menurut data Kemenhut Indonesia Indonesia memiliki 136,5 juta hektar yang telah ditetapkan (dari ditunjuk sepihak baru ditetapkan) sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan produksi 81,8 juta ha dan hutan lindung 31 juta ha.Untuk area Hutan Produksi, pemerintah telah menerbitkan 304 unit perusahaan mendapatkan izin mengambil kayu alam HPH seluas 33 juta ha, dan 9 juta ha untuk 262 unit perusahaan HTI. Jadi, total hutan yang diserahkan untuk dipakai oleh pengusaha kehutanan seluas 42 juta hektar. Berapa banyak sudah rakyat tergusur dan kehilangan harta bendanya? Sementara itu, pihak kehutanan menyediakan 588.831 ha hutan produksi untuk HTR (Hutan Tanaman rakyat) bagi masyarakat. Program ini berdampingan dengan hutan kemasyarakatan seluas 165.469 ha dan hutan desa 88.380 ha. Betapa kecilnya jatah untuk rakyat? Sudah kecil realisasi program ini juga seret. Laporan media massa kerap memberitakan hal ini Jadi, jika kita bicara keadilan, maka pelaksanaan reforma agrarian di kawasan kehutanan adalah kemutlakan yang harus dilakukan di Indonesia. Bagaimana caranya: pertama kawasan-kawasan yang sudah sejak lama menjadi wilayah masyarakat adat, wilayah desa-desa yang secara sepihak ditunjuk menjadi kawasan harus dikeluarkan dari kawasan kehutanan dan diberikan penguatan hak bagi mereka. Kedua, kawasan-kawasan produksi yang sudah diberikan izin konsesinya kepada perusahaan harus ditinjau ulang sebab banyak konflik dengan masyarakat (RAPP Riau dan WKS Jambi adalah contoh kasus konflik tersebut). Ketiga, hutan produksi yang tersisa harus diprioritaskan untuk dikelola oleh rakyat dengan pola-pola pengelolaan yang telah lama tumbuh dimasyarakat. Cara-cara diatas tidak akan pernah terjadi jika tidak ada reformasi total dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan birokrasi kehutanan nasional khususnya Kementerian Kehutanan dan relasinya dengan sektor lainnya juga hubungan kelembagaannya dengan pemerintahan daerah. Menyerahkan penguasaan Negara atas hutan kepada institusi Kementerian Kehutanan dengan UU 41/1999 telah memasung puluhan juta hak-hak rakyat. Padahal, keberlangsungan hutan kita juga terus rusak oleh izin-izin HPH dan HTI dari kementerian ini. foto diambil dari http://menjawabdenganhati.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H