"Ah, lama-lama kentut keras-keras pun akan diharamkan sama pak menteri ini", demikian gerutuan saya pada salah satu tulisan kawan kompasioners yang membahas topik ini. Meski saya tahu kentut keras ataupun halus di muka umum akan mempermalukan diri sendiri dan sudah pasti tidak sopan.
Kalau tidak setuju RPM berarti kamu setuju dong soal pornografi di internet. Gundulmu, pikirku. Memangnya, kalau gak suka sambel berarti suka rasa asin, kalau gak suka pahit berarti suka rasa manis. Sedikit sekali pilihan-pilihannya, bahkan lebih sedikit dari soal multiple choice a la ujian nasional he he he. Kalau gak suka RPM kok dituduh ikut-ikutan suka mengunduh situs porno. Oke, kalaupun saya suka mengunjungi situs porno apa masalahnya?
Masalahnya ada anak-anak sekolah mengakses internet tetapi hanya membuka situs porno, juga ada banyak pelacuran terselubung dan penjualan perempuan dan anak lewat internet. Selain itu, ada banyak kejahatan-kejahatan lainnya dalam dunia internet. Oke, apa tidak sebaiknya hal-hal yang demikian diatur saja dalam sebuah UU. Atau jangan-jangan sudah diatur dengan jelas oleh UU yang ada, seperti UU yang diributkan dulu itu lo, UU tentang pornograpi dan pornoaksi. Atau sudah diatur ketat oleh UU ITE. Bukankah UU itu sudah membuat banyak korban tak bersalah, kok mau ditambah lagi.
Mengapa peraturan model begini, yakni peraturan yang membatasi hak-hak warga harus diatur melalui UU? Sebab, secara proses sebuah UU mensyaratkan adanya sebuah Naskah Akademik, mensyaratkan partisipasi publik lewat proses dengar pendapat dan sosialisasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Selain itu, kalaupun sudah disahkan, jika dianggap melanggar hak-hak konstitusi warga bisa kita bawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji melalui Judicial Review.
Kalau memang sudah ada UU-nya, mengapa pula harus ada RPM? Saya kira ini momentum pertemuan kepentingan antara pihak yang suka sekali adanya polisi susila di tanah air dan kepentingan orang yang pingin sekali menangkap pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Masa sih? Namanya juga saya kira. Kira-kira begitu nggak ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H