Apa jadinya bila seseorang tiba-tiba memberanikan diri naik di ketinggian. Pasti ia sedikit terkejut melihat sekeliling, melihat bumi yang ada di bawah. Apa lagi ia harus berjalan pada ketinggian. Itulah yang saya alami.
Meski awalnya sempat menguasai keadaan, tetapi hati ini tidak bisa dibohongi, kaki rasanya juga gemetar, grogi melihat ke bawah. Pengalaman ini saya alami saat berkunjung ke Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung (Babul).
Kekayaan alam TN Babul ini luar biasa, baik flora, fauna atau keunikan/keelokan alamnya. Lingkungan karst, iklim dan faktor alam lainnya mendukung bagi habitat tumbuhnya kupu-kupu. Dataran dan pengunungan karst TN Babul seluas 43.75 ribu ha (1), mencakup/berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru, Bone dan Maros.
Fauna yang khas di TN Babul ini adalah kupu-kupu. TN Babul dikenal dengan "The Kingdom of Butterfly", karena memiliki jumlah dan keanekaragaman kupu-kupu. Ikon kupu-kupu ini dibangun di pintu gerbang masuk TN Babul dalam ukuran besar.
Sekitar 50 m dari pintu gerbang masuk, nampak sebuah bukit dengan sebuah jaring raksasa. Inilah tempat penangkaran kupu-kupu. Untuk masuk ke penangkaran, pengunjung dikenakan tarif lima ribu rupiah per orang. Pengunjung dikenakan tarif tambahan sebesar lima belas ribu rupiah bila mau naik ke Helena Sky Bridge.
Saat awal masuk pikiran saya hanya fokus ke kupu-kupu. Di penangkaran ini, ada sebuah bangunan lebih tepat sebagai rumah atau insektarium kupu-kupu. Disini didisplay ragam kupu-kupu, kepompong dan poster perihal siklus hidup kupu-kupu. Kupu-kupu yang dikeringkan tersaji apik, unik dan warna-warni. Ini dapat menjadi insprasi bagi ilmuan biologi, pelukis, disainer seni, atau advertising.
Dari insektarium, pengunjung disilakan masuk ke tempat penangkaran kupu alam. Penangkar raksasa ini berwujud bangunan permanen, dibatasi rangka besi kokoh, dan ditutup jaring-jaring raksasa. Jaring berguna untuk melindungi, memonitor tumbuh dan keberadaannya kupu-kupu. Tapi sayang, jaring itu sekarang rusak atau robek akibat terjangan angin puyuh.
Luasan penangkar itu kurang lebih sekitar dua hektar, dengan ketinggian sekitar 40 m. Fisiografinya bergelombang, sehingga cocok untuk orang-orang usia muda atau anak-anak. Jalurnya naik turun, terkadang sempit melalui celah batuan, dan sebagian mendaki atau menurun terjal.
Saat melewati jalur itu, saya mendengar riuh anak-anak muda. Saya hanya melihat jaring yang mengarah ke dinding bukit. Kiranya suara itu ada di bagian ketinggian yang lain. Tidak lama berjalan, akhirnya nampak jelas sebuah menara tinggi dimana suara itu berasal. Nampak anak-anak berseragam sekolah naik menara sambil tertawa dan bercanda.
Jalur yang saya lalui ini memang menuju ke arah menara itu. Ada sepuah papan petunjuk bertuliskan Helena Sky Bridge. Kiranya inilah tujuan utama wisatawan di penangkaran kupu-kupu ini. Saya terus mendekat ke menara. Begitu tiba, saya tertegun melihat jembatan tinggi. Haruskah naik? Mampukah? Pertanyaan ini berkecamuk dari hati. Akhirnya saya memutuskan, perlu dicoba naik. Memang, saat itu saya pengunjung paling tua yang masuk penangkaran kupu.
Saya pun manut (patuh) ketika petugas meminta saya menggunakan belt pengaman di tubuh. Saya lihat ke atas bukit sebuah tulisan logam HELENA SKY BRIDGE, yang ditanam pada dinding bukit dengan besi beton.