Masjid adalah tempat ibadah umat muslim. Fungsi masjid untuk ibadah, dakwah atau kesejahteraan, adalah hal yang lumrah. Namun ketika masjid menjadi tempat wisata, ini adalah manfaat yang luar biasa, menjadi syiar Islam yang menyebarkan ilmu, kemanusiaan dan penghargaan.
Saya baru-baru ini berkunjung ke masjid Putra, Putrajaya, Kuala Lumpur, Malaysia (24 Juli 2018). Masjid ini berlokasi dekat kantor PM Malaysia. Karena agak longgar waktunya, saya agak berlama-lama menikmati masjid ini. Sebelumnya, saya sudah pernah mendatangi tempat ini dua kali, hanya di seputaran lapangan lingkar di depan kantor PM.
Sebenarnya masjid Putra tidak semegah atau sebesar masjid Istiqlal, Jakarta. Ukurannya mungkin hanya setengah luas Istiqlal. Namun, kelebihan masjid Putra adalah pada posisi bangunan, lansekap, sarana pendukung dan sarana layanannya. Singkat kata, masjid ini sangat indah, nyaman, bersahabat dan sangat ramah untuk siapa saja termasuk non muslim.
Lansekap masjid terletak di pinggir danau Putrajaya, seolah memberi kesan masjid terapung. Dataran sekitar danau juga sejuk oleh vegetasi kehijauan perdu dan pohon. Ini menjadikannya sangat elok dan segar mata memandang. Bangunannya megah mirip-mirip Istiqlal, dilengkapi plataran outdoor, sebelum masuk bangunan utama.
Penataan letak masjid, lapangan lingkar dengan kantor PM mirip dengan ruang tengah kota kabupaten di pulau Jawa, yakni ada alun-alun, kantor bupati dan masjid agung. Kehadiran wisatawan umumnya memang lebih banyak ke lapangan lingkar yang luasnya sekitar satu hektar. Mobil atau bas pasiaran bisa parkir di jalanan tepi lapangan. Dari lapangan ini, wisatawan memiliki pemandangan yang luas untuk melihat kantor PM, masjid atau kantor-kantor pemerintah.
Kalau di kota kabupaten di Jawa, biasa ditemukan pasar atau pertokoan di sekitar alun-alun. Nah di Putrajaya ini juga ada. Tapi gambaran pasar itu dikemas rapi dan modern, yakni adanya foodcourt dan toko suvenir, yang benar-benar memanjakan wisatawan. Posisi toko itu adalah tepat di tepi danau di sebelah bawah Masjid. Wisatawan bisa menemukan menu-menu Asia Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara; selain makanan cepat saji ala Eropa. Suvenir dapat dipilih antara lain, baju, T-shirt, stiker, pernik gantungan kunci dan asesori lainnya. Karakter multikultur sangat kentara dari jenis layanan toko-toko itu.
Saya sempat mengikuti sholat Ashar di dalam masjid. Tidak banyak jamaah saat itu, hanya satu shaf saja, atau 25 orang. Mungkin karena saat itu pas hari kerja, sehingga terkesan sepi. Selesai sholat, Imam memimpin dzikir dengan suara dikeraskan mirip amaliah di masjid agung di Jawa.
Selesai sholat saat keluar masjid, saya memandang wisatawan menggunakan baju atau jubah warna merah marun di plataran luar. Saya baru sadar bahwa mereka adalah wisatawan non muslim. Wisatawan berkulit putih atau kuning itu nampak berfoto sambil melihat dan mengenali bangunan masjid. Jubah itu adalah layanan masjid untuk wisatawan non muslim. Mereka boleh menjelajah masjid kecuali di dalam bangunan utama. Kondisi ini mirip dengan layanan masjid Sultan di Singapura (1). Petugas layanan masjid, yang berseragam putih bersarung setinggi lutut, siap melayani wisatawan.
Dekat pintu masuk bangunan utama masjid, tersedia lealet cuma-cuma untuk belajar mengenal Islam. Ada banyak ragam leaflet yang memuat info mengenal Allah, kehidupan muslim, sholat, hijab, puasa, dan lainnya, tertulis dalam bahasa Inggris.
Pendeknya wisatawan dibuat nyaman masuk ke masjid Putra. Layanan masjid siap memberi informasi tentang Islam, ..Islam yang ramah, lembut dan penuh kasih sayang. Masjid di Indonesia perlu belajar dari hal ini.
Malang, 25 Agustus 2018