The dog and the rabbit are telling us not to chase unattainable material goals. Kit Williams
Pak SBY adalah salah satu presiden yang tampil relatif sempurna, baik dalam hal gestur, busana, sikap maupun dhawuh (ucapan) nya.
Saat berada di podium, beliau menyampaikan pandangan dengan tutur kata dan bahasa sangat baik, runtut, jelas dan sistematik. Dalam berbagai forum resmi kenegaraan, beliau menyampaikan pendapatnya sekaligus seolah menyapa audiennya; dengan sedikit improvisasi dari teks yang sudah disiapkan.
Namun, kini setelah tidak jadi presiden. Tampilan beliau, khususnya dalam berucap agak sedikit berubah. Yang tetap adalah beliau masih rapi dan gagah. Yang berubah banyak adalah perihal substansi dan style penyampaiannya. Ini bisa dipahami karena konteksnya sudah berubah. Sumber bacaan/informasi, substansi, kepentingan atau momentumnya memang berbeda dibanding saat menjadi presiden.
Baru-baru ini pak SBY menyampaikan suatu pendapat yang agak krusial. Bahwa komunikasi beliau dengan ibu Megawati dirasakan belum pulih (lihat 1, 2). Ini memancing silang pendapat antar kelompok pendukungnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis hal politik, koalisi, pencapresan atau hal-hal yang berat. Tulisan ini ingin saling mengingatkan betapa sulitnya berbahasa, menyampaikan hal-hal yang positif, atau mengharga orang lain melalui ucapan.
Tidak ada panduan khusus bagaimana etika atau cara berucap atau berbahasa yang baik. Yang ada biasanya terkait dengan norma atau adab kesopanan, mengucap kata-kata yang baik, dan saling menghormati.
Dalam agama Islam, panduan berucap yang baik ditemukan dalam Al Qalam [68]: 10-11); "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Nabi juga mencontohkan: "Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik jika tidak bisa lebih baik diam" (HR. Bukhari dan Muslim).
Ucapan atau pernyataan verbal yang positif mensyaratkan terpenuhi dua hal, yakni orang yang mengucapkan (sumber) dan orang yang mendengar (penerima). Dua pihak perlu berinteraksi positif dan saling menghargai agar terbangun komunikasi yang positif. Hasil komunikasi itu juga akan membangun semangat kebersamaan dan persaudaraan.
Hal ini menjadi penting untuk pembelajaran seluruh komponen bangsa. Sebuah ucapan dapat menjadi sumber pemecah belah ketika ucapannya senantiasa provokatif, menyinggung dan mengganggu keharmonisan. Seorang tokoh, pemimpin, atau politisi wajib menyampaikan ucapan yang menyejukkan.
Kalaupun tidak bisa sejuk, paling tidak membangun konsep tentang persatuan atau keharmonisan. Hindari ucapan bernada SARA, atau yang akhir-akhir ini banyak diungkapkan, yakni menggunakan agama untuk pembenaran dan menyalahkan orang lain.