Pada tahun 1970an, saat saya masih SD, guru pengetahuan umum (sekarang geografi) sering menjelaskan tentang adanya gunung kapur di pulau Madura. Saat itu bila melihat peta (atlas berwarna), di sekitar Bangkalan ada dataran tinggi. Itulah kira-kira pegunungan kapur, mirip dengan pegunungan kapur di Gresik, Tuban, atau Kendeng (Bojonegoro), yang semuanya berposisi di bagian utara Jawa.
Pada jaman itu, saya tinggal di Surabaya. Secara geografi, Bangkalan sebenarnya sangat dekat dengan Surabaya, tinggal menyeberang dengan kapal ferry dari Tanjung Perak ke Kamal. Namun, sekali lagi saat itu, ..Bangkalan Madura itu terasa jauuuhh. Lebih dekat ke Lamongan atau Tuban.
Kini untuk melihat pegunungan kapur di Bangkalan, atau Madura, rasanya sangat dekat. Dari Malang atau manapun ke Bangkalan Madura, terasa sama saja jauhnya menuju ke Surabaya. Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) membuat dekat, Madura seolah satu daratan dengan Jawa.
Beberapa kali ke Madura, baru kemarin (9 Maret 2017) menyempatkan diri melihat bukit kapur Jaddih dan Arosbaya. Sebagaimana cerita banyak orang, saya pun terpesona dan takjub dengan wisata bukit kapur ini. Saya pun bersama teman-teman satu rombongan larut untuk menikmati keelokan dan keunikan wisata bukit kapur Jaddih maupun Arosbaya.
Pemandangan di bukit Jaddih sungguh luar biasa. Bukit kapur ditambang, digali dan dibuka, menciptakan lansekap buatan yang cukup indah. Ada bukit yang nampak memiliki pintu atau jendela. Ada ruang terbuka yang memiliki kolam. Ruang terbuka itu bisa jadi tempat teater terbuka. Bukit dibentuk seperti bangunan bertingkat, besar dan bagus.
Di bukit Arosbaya lebih unik lagi, wisatawan seolah diajak berjalan masuk lorong diapit bukit kapur. Ini seperti berada dalam jaman abad pertengahan, dimana orang masih mengandalkan hutan dan alam untuk tempat tinggal dan menggantungkan kehidupan. Apalagi saat masuk ke dalam rongga atau goa bukit. Suasana jaman gothic sangat terasa, dengan disain interior ruang yang tinggi dan luas, dengan warna dan kesan yang gelap. Kandungan besi membuat batuan kapur di Arosbaya berwarna lebih kemerahan dibanding di bukit Jaddih.
Bayangan saya, penambangan batuan kapur di dua bukit itu tanpa perencanaan yang matang. Penambangan dilakukan sesuka penambang, sporadis atau spontanitas. Wisatawan bisa menyaksikan para pekerja menambang batuan di berbagai tempat. Itu sebabnya selalu ada kekuatiran tentang keamanan, saat masuk rung-ruang di dalam bukit. Tidak ada petunjuk atau rambu keselamatan.
Saat menuju bukit Arosbaya, kesan tanpa pengaturan makin nampak. Pengunjung harus berhati-hati untuk membawa kendaraannya karena jalannya hanya pas seukuran mobil, alias sempit.
Dengan perencanaan penambangan yang matang, serta pengaturan posisi, saya membayangkan bukit kapur ini bisa diarahkan menjadi stadion, kolam renang, hotel atau mungkin sirkuit F1, atau bangunan lain yang mentereng dan indah. Ini hanya bayangan, yang mungkin sulit terealisasi. Penambangan ini nampaknya secara tradisionil dikelola penduduk lokal.
Perlu sentuhan pendidikan
Namun hati ini rasanya tidak puas dengan hanya melihat-lihat alam dan lingkungan bukit. Alam sebenarnya bisa bercerita banyak tentang dirinya. Namun sayangnya alam itu tidak bisa berbicara kepada para pengunjung atau wisatawan. Tidak ada obyek atau orang yang mampu membantu atau menjelaskan tentang keberadaan dan mengapa dengan bukit kapur ini.