Siapa yang tidak mengenal Batu? Semua orang pasti tahu, mungkin juga sudah beberapa kali kesana. Kota Batu terus berbenah untuk melengkapi daya tarik obyek wisatanya, semakin beragam, semakin ramah dan berbudaya.
Wisata alam atau agro di kota Batu sudah dikenal sejak dulu, melalui wisata kebun apel, tanaman hias, Songgoriti, Paralayang, Arboretrum, Coban Talun, Cangar, dan Selecta. Kini juga muncul wisata hiburan bernuansa edukasi seperti BNS, Jatim Park, musium satwa, musium angkut, atau Ecogreen Park.
Dari sekian obyek itu, yang menarik adalah alun-alun. Alun-alun ini juga mendapat perhatian pemkot Batu, telah ditata, dipercantik, dinyamankan dan diramahkan. Bagaimanapun alun-alun adalah simbol budaya, menjadi pusat bertemunya banyak orang, disajikan pernik-pernik penawaran dan permintaan wisata, tentu dari khas dan uniknya kota Batu.
Saya pernah pergi ke kota warisan budaya yang diakui UNESCO, yakni Praha, republik Ceko (1a,1b,1c). Di Praha banyak obyek wisata dan menyebar di seluruh kota, meliputi istana presiden, Charles Bridge, kastil Hradcani, pertunjukan opera, macam-macam musium dan galeri. Tapi dari semua obyek itu, pusat atau muara berkumpulnya wisatawan adalah Old Town Square, semacam alun-alun yang dapat dijangkau wisatawan dengan kereta subway metro, atau berjalan kaki.
Saya tidak bermaksud membandingkannya dengan kota Batu. Namun beberapa karakternya perlu ditiru oleh kota Batu. Faktor jarak antar beberapa (tidak semua) obyek wisata juga agak dekat. Alun-alun kota Batu dapat menjadi pengikat, sekaligus menampilkan potret budaya dan bukti keramahan wisata Batu. Dan tanda-tanda sudah nampak.
Apa saja keramahan alun-alun kota Batu itu?
Pertama, lingkungan alam yang nyaman dan sejuk. Anugrah alam ini nyaman dinikmati, khususnya malam hari dengan suhu rata-rata 21 derajat. Faktor keamanan lingkungan juga positif, membuat orang santai berjalan kaki menikmati udara terbuka di sekitar alun-alun, atau di tempat lain. Iklim ini mirip dengan wilayah subtropika. Alun-alun dan lingkungan sekitarnya juga telah ditata tertib dan bersih.
Kedua, lingkungan sosial yang ramah. Penduduk, pelaku ekonomi, pedagang, pelaku wisata di kota Batu relatif terbuka, dan berpengetahuan untuk siap menerima jasa wisata dan wisatawan dari luar kota. Karakter ini telah tertanam sejak lama. Bagaimanapun, sejak jaman Belanda, kota Batu didisain untuk tempat plesiran. Lihat saja, para pedagang, toko, atau aparat yang ditemui di sekitar alun-alun yang memberikan respon, proporsional, dan layanan yang lumayan baik. Ini yang menyebabkan perkembangan wisata kota Batu melesat.
Ketiga, adanya obyek atau simbol budaya di sekitar alun-alun. Ada masjid, kuliner tradisional, toko suvenir, toko buku, buah, wahana bermain atau hiburan anak, dan termasuk kafe. Hampir semua usia dapat menikmati keunikan alun-alun kota Batu, termasuk kebutuhan ibadah.
Alun-alun lebih semarak di malam hari
Batu pada siang hari udaranya panas seperti halnya di Malang, dengan suhu sekitar 26 hingga 30 derajad. Ini kurang nyaman bagi wisatawan untuk jalan-jalan.