Hidup dan bekerja di kampus banyak dinamikanya. Menghadapi dosen atau mahasiswa, atau siapa saja selalu ada keunikannya. Pengalaman menjadi dosen sekitar 25 tahun, memuat banyak pengalaman. Ini menjadikan bahan pembelajaran dan kesabaran.
Beberapa waktu lalu, saya dan kolega kedatangan tamu. Tamu itu diantar oleh seorang dosen. Tamu itu seorang ibu, berusia sekitar 60 tahunan. Ia datang sendirian, dengan wajah nampak sedih. Si ibu itu nampak sekali orang yang sopan, santun, lembut dan terdidik.
Kami mempersilakan ibu itu menyampaikan maksudnya. Karena ibu itu nampak bersedih, suasananya menjadi hening. Rasanya sulit membuat bahan pembicaraan untuk menghiburnya. Satu-satunya cara adalah memberi kesempatan si ibu untuk menyampaikan isi hatinya.
Si ibu pun berbicara pelan. Anaknya, yang menjadi mahasiswa di kampus kami, meninggal beberapa waktu lalu. Kami pun paham, karena sudah mendengar berita ini sebelumnya. Ringkasnya, maksud kedatangannya adalah ingin membayar kewajiban keuangan anaknya, karena ia melihat ada kekurangan yang harus dibayar oleh anaknya.
Mendengar penuturan ibu itu, mata saya berkaca-kaca memandang wajahnya. Perasaan sedih bercampur dengan rasa haru dan hormat. Niat si ibu sangat mulia, dan tentu ibu ini orang yang luar biasa. Jujur saja, baru kali ini saya menghadapi hal seperti ini. Tidak banyak orang seperti ini. Rasanya raga ini sulit untuk konsentrasi saat berbincang itu.
Jawaban kami terhadap maksud ibu itu, tentu saja mengikhlaskannya. Rasanya uang itu tidak bermakna apa-apa. Saya merasa kehadiran ibu itu sama seperti menerima buku kehidupan, yang menyejukkan. Buku yang harus saya baca. Buku yang memuat nasehat kehidupan, kuat menjalankan prinsip, tegar menjalankan kewajiban, tangguh menghadapi tantangan, dan senantiasa memelihara silaturahim.
Kewajiban melunasi hutang adalah prinsip kehidupan. Bahkan ketika seseorang sudah meninggal, bila masih berhutang wajib dilunasi oleh ahli waris atau keluarganya. Hutang tidak begitu saja hilang oleh kematian atau kejadian tertentu. Hutang harus ditutup dan dilunasi. Sebaik-baiknya melunasi hutang adalah ketika masih hidup, agar tidak terlupakan, apalagi sengaja melupakan. Jangan sampai hidup atau mati terbebani atau menyisakan hutang.
Pelajaran hidup dari ibu mahasiswa tersebut dapat disimak berikut ini.
Pertama, hutang atau pinjaman kepada siapa saja, kepada bank, kepada lembaga, atau kepada perorangan adalah tetap hutang. Hutang oleh perusahaan, oleh kantor atau negara. Hutang ini harus dilunasi, dibayarkan kepada pemberi hutang sesegera mungkin. Karena itu, seseorang yang berhutang harus memiliki jaminan yang mencukupi dan sah.
Kedua, ketika seseorang berhutang, maka ia harus memberitahu kepada keluarganya. Karena bila seseorang, karena suatu hal, atau meninggal dunia, maka keluarga atau ahli waris wajib melunasi. Seseorang harus terbuka dan jujur perihal hutang kepada keluarga, istri/suami, dan anak-anaknya. Hal yang lebih penting adalah setiap anggota keluarga saling mengingatkan untuk tidak terlibat hutang, melunasi hutang segera, mementingkan ilmu dan pendidikan, atau saling membantu satu sama lain.
Ketiga, mengendalikan keperluan dan pengeluaran. Saat ini tawaran berhutang sangat melimpah. Seseorang bisa tiba-tiba memutuskan berhutang ketika ada tanah yang dijual. Ia bisa meminjam uang ke bank untuk membeli tanah itu, untuk investasi. Ia pikir return dari tanah itu jauh lebih tinggi dibanding dengan bunga bank; cara berpikir yang sama seperti rentenir. Hal ini yang membuat kesenjangan makin meningkat. Banyak rupa rupa godaan dan tawaran hutang, yang sebenarnya bukan untuk kebutuhan, tetapi lebih karena hasrat, nafsu, atau keinginan mengumpulkan harta benda.