Jika PDIP memilih menjagokan Pramono Anung sebagai calon gubernur DKI, kemungkinan besar akan ada reaksi beragam dari pendukung Anies Baswedan dan basis pendukungnya. Mereka mungkin merasa terasing atau kecewa karena PDIP lebih memilih kader internal yang sudah mapan daripada Anies, yang dikenal memiliki basis dukungan luas di Jakarta.
Namun, apakah pendukung Anies akan menolak Pramono secara otomatis? Itu tergantung pada bagaimana strategi komunikasi PDIP dan Pramono Anung dalam mengatasi potensi ketidakpuasan ini. Jika Pramono bisa meyakinkan publik bahwa dia adalah pilihan terbaik untuk melanjutkan pembangunan dan reformasi di DKI Jakarta, beberapa pendukung Anies mungkin masih bisa diajak beralih.
Sebaliknya, jika pendekatan PDIP terkesan eksklusif atau kurang inklusif, hal ini bisa memperkuat kesan bahwa Anies dan pendukungnya terpinggirkan, yang dapat meningkatkan resistensi terhadap Pramono.
Anies Baswedan kemungkinan menolak menjadi anggota PDIP karena beberapa pertimbangan strategis, salah satunya adalah kekhawatiran kehilangan simpatisan. Anies memiliki basis pendukung yang beragam, termasuk diantaranya mereka yang mungkin memiliki pandangan politik yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan ideologi PDIP. Bergabung dengan PDIP bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang selama ini ia perjuangkan, sehingga berpotensi mengalienasi sebagian besar pendukungnya yang mungkin tidak menyukai afiliasi dengan partai tersebut.
Selain itu, Anies juga mungkin mempertimbangkan bahwa bergabung dengan PDIP bisa merusak citranya sebagai tokoh independen yang tidak terikat pada kepentingan partai politik tertentu, sesuatu yang telah menjadi salah satu kekuatannya dalam meraih dukungan publik. Dengan tetap berada di luar PDIP, Anies bisa mempertahankan fleksibilitas politik dan kebebasan untuk membentuk aliansi strategis tanpa dibatasi oleh kepentingan partai yang terlalu mengikat.
Penolakan Anies untuk mendaftar menjadi anggota PDIP tampaknya bertentangan dengan karakter utamanya yang oportunis, selalu berusaha berada di depan, dan sering kali mencuri start. Keputusan ini sangat disayangkan karena Anies justru kehilangan kesempatan emas untuk berjuang melawan Jokowi. Ini adalah satu satunya kesempatan yang bisa didapatkan jika ia bersedia menjadi kader PDIP. Dengan menolak kesempatan ini, Anies tidak hanya kehilangan momentum politiknya tetapi juga melewatkan peluang untuk membangun koalisi kuat dengan PDIP dalam upaya bersama melawan kekuatan oligarki yang semakin mendominasi.
Di sisi lain, PDIP yang tidak menunjukkan ketegasan dalam memanfaatkan potensi Anies sebagai sekutu strategis menunjukkan bahwa partai ini mungkin telah kehilangan fokus dalam mempertahankan esensi perjuangannya sesuai dengan ideologi dan nama besar partai. Selain itu, kurangnya tindakan tegas dari PDIP dalam menghadapi ancaman internal ini bisa mencerminkan bahwa partai tersebut mulai kehilangan semangat dalam memberikan efek jera terhadap pihak-pihak yang merusak dari dalam.
Megawati mengatakan tentang kemungkinan mengusung Anies yang mengkhawatirkan tentang kemungkinan terjadi berulangnya kasus Jokowi membelot dari jerih payah semua anggota partai PDIP yang all out selama mendidiknya dan membuatnya mungkin menjadi Gubernur dan Presiden, bahkan sampai hari hari terakhirnya masih menggelorakan anak emas satu satunya dan menyatakan pembelaan penuh pada Jokowi.
Rupanya PDIP lupa bahwa ini adalah dunia politik dengan slogan utama Power tend to corrupt. Corrupting mind players atau racun pemikiran di sekitar anak emas yang dikelilingi oleh semua ketua partai yang juga menggunakan politik tipu muslihat dan segala macam kemungkinan penawaran yang menggiurkan seperti pembangunan dinasti melalui PDIP yang sibuk membela dan terlena, dan tahu tahu sadar dan sudah terlambat karena sekarang diambang jurang penurunan elektoral.
Jurang kemerosotan elektoral PDIP apakah mudah untuk diputar balik? Melihat semua partai sudah mulai mengeroyok dipimpin sang anak emas yang tidak pernah berhenti merangsek dan memojokkan karena marah dan sedang dendam kesumat, karena keinginannya tidak dituruti terus. Belum intimidasi dari perangkat hukum dan aparat yang berusaha diorkestrasikan mulai dari semua partai, aparat dan hukum dan undang undang untuk semakin menurunkan dan membatasi elektoral dan ruang gerak PDIP. Sementara dari Kim plus hanya memiliki Cagub Ridwan Kamil dengan popularitas 14% menurut hasil survei terbaru dan Anis dengan popularitas yang jauh lebih tinggi ataupun Ahok yang nomor 2 setelah Anis, di atas kertas berarti ini adalah kemenangan yang jauh lebih mudah dari pilihan Ahok atau Anis untuk melawan Ridwan. Tetapi seperti biasa PDIP tidak pernah memilih jalan mudah dengan resikonya seperti saat ini.
Sebetulnya banyak tawaran gila yang out of the box seperti permintaan masyarakat akan kepemimpinan PDIP dan Megawati dalam melawan Oligarki, melawan semua partai cacat hukum atau tersandera kasus korupsi, melawan aparat yang juga cacat hukum dan korupsi, melawan perangkat hukum dan undang undang pro KKN. Salah satu korbannya dari sistem yang anti serba membatasi adalah Anies. Walaupun Anies susah ditebak apa maunya, dan biasanya selalu menuruti kemauannya sendiri, tetapi Anies sedang dipersekusi atau dipinggirkan dan dibatasi atau diamputasi kepemimpinannya.