Perang Agresi Rusia mencaplok negeri orang di zaman ini adalah penjajahan model baru atau edisi 2022 seperti yang terjadi pada Ukraina. Kolonisasi Rusia ini pasti tidak memperhitungkan pro dan con nya sebelum mencaplok negara dan menjajahnya. Ini adalah agenda negara yang sangat merugikan diri sendiri baik cepat atau lambat. Walau semua beranggapan bahwa di zaman ini semua negara bukannya sudah pintar dan melek sejarah tentang dosa dan kejahatan penjajah? Seperti penjajahan tersadis di Asia, Amerika dan Afrika, bahkan Eropa pernah mengalami dijajah dan sesudahnya malah menjajah. Ini benar benar Stockholm syndrome, atau suatu syndrome dimana korban kekerasan mencintai pelakunya atau malah berubah menjadi pelaku kekerasan yang disertai dengan kenikmatan tersendiri. Penjajahan dan perbudakan ini sepertinya diawali waktu kita nonton film Viking ataupun film Cleopatra atau Romawi atau setting tahun BC, before Christ. Zaman itu pedagang Roma mengirim budak yang diambil paksa dari Afrika ke Roma, kemudian dipilih yang kuat untuk diadu dengan singa lapar di stadium Gladiator
Bahkan sampai sekarang ini di tahun 2024 perbudakan ini masih ada, malah dibuat segala macam film kekerasan dan laku keras. Itu bayangan kita tentang penjajahan dan perbudakan yang menurut drama film dalam persepsi kita adalah perbudakan orang orang dewasa. Di dalam buku pelajaran sejarah yang ditulis secara sangat santun, tidak pernah disebut atau takut menyebut perbudakan seks atau perbudakan anak, karena berusaha "comply" dengan hukum kepatutan. Sehingga buku pelajaran sejarah tidak pernah menyebut perbudakan sex atau perbudakan anak anak sama sekali. Ini mirip dengan pekerjaan di media sosial yang pekerjanya harus nge "block" semua konten yang menyebut kata kata haram, atau perilaku yang membuat para advertiser "disgusted" atau muak dan akan komplain pada perusahaan media.
Memang dulu penjajahan diartikan sebagai slavery atau perbudakan yang bisa diperjual belikan seperti ayam, kambing atau sapi kurban. Maaf kalau kedengarannya seperti sangat kasar dan mencolok mata termasuk perbudakan yang sekarang terjadi di DRC, democratic republic of Congo yang penuh dengan kekerasan senjata api, persis seperti jaman pelayaran hongi, atau jaman ini sekalipun anak anak diculik oleh Truk cap gunting terus digunakan untuk mengemis, dll . Walaupun perbudakan ras kulit hitam dan ras Asia sudah hilang, tetapi tidak semua perbudakan hilang seperti perbudakan anak. Inipun perbudakan anak sudah jelas dilarang di PBB dan semua negara termasuk Indonesia.
Sampai saat ini masih ada perbudakan anak, berkulit hitam pula di provinsi Katanga di negara Konggo. Persepsi kuat kita tentang perbudakan kulit hitam di Amerika setelah MLK, Martin Luther King Jr. yang membuat orasi bersejarah kelas dunia yang dipakai berulang ulang oleh siapa saja yang sedang berjuang yaitu "I have a Dream." Kemudian, apakah memungkinkan diantara anak anak di negara DRC atau anak anak pengemis di Indonesia bisa viral dan menelurkan prestasi seperti MLK yang lebih junior lagi dengan orasi lainnya yang mungkin mirip mirip "Can a Little Child dream?" Harus bagaimana caranya supaya perbudakan anak ini bisa menghasilkan MLK lainnya yang bisa sukses seperti Barack Obama?
Di Indonesia pengemis anak anak apakah sangat perlu atau bisakah ditolong oleh Pemerintah atau kalau pemerintah menolak, minta tolong sama Unicef? Di DRC katanya perbudakan anak itu perlu untuk menambang kobalt, bahan komponen penting untuk membuat produk produk Apple, Google, Tesla dan semua produk high tech di seluruh dunia yang dipakai oleh semua bangsa termasuk Indonesia. Malukah kita semua memakai Iphone, MacBook, Ipad, Ipod, Apple Tag? Ini saja baru dari produk Apple, belum Google phone, mobil Tesla dan lain lain yang menurut riset Unicef, badan PBB untuk mendanai anak anak mencatat ada sekitar 40 ribu jumlah perbudakan anak anak berkulit hitam. Apa kita masih mau melihat lebih jelas, atau mau tutup mata, atau mending pura pura tidak tahu, move on aja deh.
Iseng iseng mencari sebab sebab adanya child labor violation ini hasilnya sangat mengejutkan. Alasan utamanya yang keluar di google search karena kita semua korban AI atau Chat GPT dan ketemu "jawabanya" adalah alasan bohong yang dibuat buat atau cuma excuse saja dan jelas pasti hanya alasan sembarangan yang cuma untuk menutupi pano-tragis kejahatan perbudakan anak ini yang sebenarnya, maaf bukan panorama sama sekali. Kita juga sering mendengar berbagai alasan ngawur waktu santer diberitakan tentang guru sekolah atau guru agama melakukan perbudakan sex pada anak anak, pasti alasannya ngawur atau santun sekali. Dan yang pasti berita atau media sosial suka memuat alasan santun yang asal sembarangan untuk membuat pengiklan merasa "pede" waktu memasarkan produknya menggunakan tekno media dalam liputannya.
Mari kita ungkap di sini alasan pembenaran untuk tetap menggunakan produk media tekno tanpa rasa malu malu. Mari kita simak alasan yang bisa kita temukan di Google, dan kita temukan, bahwa malah seakan akan bukanlah sebuah alasan, coba simak berikut ini "as their families cannot afford to pay school fees on meagre wages," ini Google ambil quote dari Siddharth Kara. Atau di Indonesiakan menjadi "sebagaimana keluarga mereka tidak mampu untuk membayar iuran SPP sekolah dari penghasilan dibawah garis kemiskinan." Maaf kalau terjamahan ini hasilnya seperti dua kali panjangnya dari Inggris. Coba simak lagi alesan dari Google search, bukannya ini adalah keterlaluan? Mengapa malu malu untuk membuat alasan yang sebenarnya? Mungkinkah disebabkan karena menggunakan produk tekno dari komponen Cobalt. Komponen ini adalah sumber dari perbudakan anak kulit hitam, yang ternyata Unicef sudah tahu dan masih tetap tidak melaksanakan tugas utamanya sebagai pendana anak anak terbesar sejagat raya ini!
Kita yang malu menggunakan barang tekno dari hasil perbudakan anak kulit hitam sebaiknya berbuat sesuatu dengan "making a difference" atau berusaha mengubah, jadi bagaimana caranya supaya kita tidak sama dengan masyarakat penikmat tekno terbanyak dan terlama per harinya. Perjuangan ini bisa dengan membuat kesadaran atau awareness, seperti juga belajar menjadi advocate atau mengikuti class action yaitu menuntut rame rame supaya perusahaan tekno ini mau memperlakukan anak anak seperti anak anak normal pada umumnya. Rupanya, sangat disayangkan telah gagal atau kita semua kalah di pengadilan California dengan putusan Judge Carl J Nichols. Alasan putusan ini karena para penuntut gagal membuktikan bahwa anak anak di Congo menderita atau sakit yang secara langsung dapat dipenuhi bukti buktinya atau bekas bekas sakit atau lukanya, atau yang yang langsung diakibatkan oleh Apple, Google, Microsoft, Dell dan Tesla. Kasus ini juga sering disebut Cobalt Red, dikarenakan berdarah darah.
Mengapa waktu penuntut industri Tekno ini tidak mempersiapkan dengan lengkap semua bukti anak anak sakit atau menderita stress karena belum cukup umur sudah menanggung beban hidup yang sangat traumatik? Memang mereka mengupayakan membawa 14 anak tersebut ke California, tetapi para penuntut ketakutan melanggar TVPRA atau Trafficking Victims Protection Reauthorization Act, atau aturan yang tidak memperbolehkan siapa saja membawa anak orang lain sejauh melintas negara bagian yang lain atau dari negara lain,karena dikhawatirkan 14 anak tersebut menjadi preseden diperbolehkannya membawa anak orang lain melintasi atau antar negara bagian, atau yang disebut perdagangan anak atau trafficking.
Pertanyaannya adalah mengapa tim hukum tidak mengajak saya untuk melawan mereka dalam membela anak anak di Kongo, kalau boleh berandai andai? Mengapa Unicef tidak ikut berpartisipasi dalam pengumpulan dana untuk mitigasi trauma anak anak Konggo, dengan dananya dan keahliannya? Yang jelas semua terdakwa adalah semua industri tekno yang punya triliunan dollar penghasilannya, bisa dan mampukah kita melawan pendanaan mereka? Atau hanya dengan konsep tuntutan dan bukti yang pasti sebagai dasar tuntutan, bahwa terbukti ada yang dirugikan yang bisa dikuantifikasi secara moneter adalah tuntutan yang wajar dan bisa jadi menang mutlak. Terkadang kita takut dengan industri tekno yang menguasai dunia dan bahkan opini dunia yang menyebabkan gamang bagi kita semua untuk melawan perbudakan 40 ribu anak yang traumatis ini.
Mencari solusi atau mencegah pelanggaran terhadap hak anak melalui kasus pekerja anak ini, kita janganlah takut menemukan jawaban yang mungkin akan mengejutkan. Makanya semua alasan dan jawabannya perlu mendapatkan perhatian yang kritis. Jadi, sementara inilah poin yang terkait masalah ini: