Lihat ke Halaman Asli

"Save Our Kalumpang" 05: Dunia Akan Mengutuk Sulbar

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia akan menuntut Sulawesi Barat bila Situs Kalumpang dan kawasan disekitarnya ditenggelamkan! Ya, sebab apa yang ada di tempat itu bukan semata-mata benda fisik saja, tapi lebih dari itu. Ada hal-hal tertentu yang masih berbingkai misteri, yang merupakan akar kebudayaan kita ribuan tahun lalu.

Memang bila dinilai dengan uang itu hampir tak bernilai, tapi penghancurannya akan memberi kita kerugian tak ternilai harganya. Jauh melampaui sebuah unit PLTA yang hanya bernilai 12 triliun rupiah. Sebuah PLTA bisa dibangung lima tahun saja, tapi peradaban, seperti peradaban Kalumpang, tak akan bisa dibangun meski dengan biaya 1000 triliun rupiah pun.

Saya pribadi tak menolak pembangunan PLTA, sejauh dia tidak berdampak negatif ke situs kebudayaan Kalumpang. PLTA bukan satu-satunya pembangkit listrik, masih ada sumber energi alternatif lain, semisal angin dan panas matahari.

Ada banyak kasus, pembangunan PLTA di Indonesia ternyata tidak berdampak signifikan ke penduduk setempat, sebagaimana yang terjadi di Sumatera. PLTA Siguragura, PLTA Tangga, dan Peleburan Aluminium Kuala Tanjung adalah milik perusahaan patungan Indonesia dengan 12 perusahaan Jepang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Perbandingan saham antara Pemerintah Indonesia dan 12 perusahaan Jepang bersama pemerintahan Jepan didirikan adalah 10%:90 %. Oktober 1978 perbandingannya menjadi 25%:75% dan 1987 menjadi 41,13 %:58,87 %. Sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12 %:58,88 %. Proyek kerja sama ini akan berakhir 2013.

Ternyata ada motif pihak Jepang membantu pembagunan PLTA Siguragura dan PLTA Tangga. Yaitu sebagai sumber energi untuk industri peleburan aluminium, yang juga ada di Sumatera Utara, yang keuntungannya lebih banyak mengalir ke Jepang.

Menurut harian Kompas, sejak pertama kali beroperasi tahun 1983, listrik dari PLTA Siguragura dan PLTA Tangga tak perna benar bisa dinikmati rakyat. Selama kurun waktu 2002-2007, masyarakat Sumut justru mengalami krisis listrik Siguragura dan PLTA Tangga tidak banyak membantu.

Kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN di Sumut pun hanya 900-1.000 MW. Kebutuhan listrik saat beban (pukul 18.00-23.00) mencapai 1.200 MW. Tak heran, masyarakat Sumut selalu mengalami pemadaman list Kondisi itu berdampak pada ekonomi karena banyak pabrik yang tutup atau mengurangi jam produksinya. rumah tangga juga mengeluh karena peralatan elektroniknya cepat rusak akibat listrik sering mati tiba-tiba.

Saat krisis itulah rakyat Sumut ngiler melihat besarnya listrik yang dihasilkan PLTA Siguragura dan PLTA Tangga hanya untuk menghidupi pabrik peleburan aluminium. Hasil produksi aluminium pun 60 % diekspor ke luar negeri dan  hanya 40 % untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan, selama ini pemda hanya menikmati “annual fee” dari Inalum Rp 74 miliar per tahun. Jumlah ini tak sebanding seandainya Proyek Asahan dikuasai Pemerintah Indonesia kemudian listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual ke PT PLN.

Bisa saja muncul pertanyaan, mengapa investor dari Cina begitu bersemangat membantu pembangunan PLTA Karama? Dari hitung-hitungan bisnis, pasti ada motif di balik itu. Pertama adalah pembagian keuntungan dari hasil penjualan listik. Pasti lebih banyak mengalir ke mereka, bukan hanya sampai di BEP (break event point), tapi beberapa tahun setelah itu. Sehingga yang diperoleh pemerintah Sulawesi Barat tak seberapa.

Saya pribadi tak terlalu percaya statemen yang dikemukakan pemimpin provinsi ini. Anwar Adnan Saleh mengatakan (dimuat di Radar Sulbar beberapa waktu lalu) bahwa “Imbal beli dari potensi Sumber Daya Alam (SDA) wilayah Sulbar merupakan nilai tawar dalam pembangunan tersebut. Potensi itu diantaranya kakao, hasil laut, serta persawahan. China ingin berinvestasi sebab merupakan konsumen coklat yang besar dan mereka butuh suplai dari kita. Begitu pun dengan ikan segar karena mereka sangat gemar ikan. Imbal beli ini akan menjadi dasar untuk pembangunan proyek itu."

Bila hanya mengandalkan coklat sama ikan, Cina tak akan bersemangat seperti sekarang. Pasti lebih dari itu. Coklat sama ikan itu mainan bisnis seujung kuku. Tak sebanding untuk berinvestasi triliunan rupiah.

Saya lebih cenderung pada motif kedua. Yaitu, ada kemungkinan kasus yang terjadi di Sumatera Utara bisa juga terjadi di Sulawesi Barat. Memang saat ini belum ada industri pertambangan yang membutuhkan energi listrik super besar. Tapi ke depan, akan ada kegiatan itu. Mamuju memiliki potensi tambang yang hanya diketahui segelintir negara-negara maju atau perusahaan multinasional.

Wajar sumber energi dibangun dulu, industrinya belakangan. Itu alasan sangat masuk akal. Masalahnya, pihak investor (dan mungkin juga pemerintah) tidak transparan dalam hal ini. Pemerintah hanya mendengun-dengunkan dampak positif, bla…bla…bla…

Saya kembali mengutip dalih pak gubernur Sulawesi Barat mengapa PLTA perlu dibangun di DAS Sungai Karama, katanya, “Megaproyek pembangunan PLTA ini diyakini dapat mendatangkan efek lain yang juga sangat menguntungkan masyarakat. Efek tersebut diantaranya pengairan persawahan, penyediaan air bersih masyarakat, penyerapan tenaga kerja lokal, serta dapat difungsikan sebagai pusat wisata baru. Sehingga, dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.”

Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh juga memberikan jaminan kepada seluruh masyarakat, khususnya di Kecamatan Sampaga Mamuju bahwa tidak akan ada dampak negatif dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah tersebut. Dia menambahkan jaminan tempat tinggal baru yang bakal dibangun oleh investor sebagai tempat relokasi warga akan lebih baik dari sebelumnya. Selain konsekuensi relokasi, Anwar yakin tidak akan ada hal lain.

Tapi apakah betul itu yang akan terjadi? Ya, kita berpikir positif saja bahwa keuntungan di atas yang akan terjadi. Tapi, jangan sampai Situs Kalumpang dikorbankan! Bila itu yang terjadi, dunia akan mengutuk Sulawesi Barat.

Masyarakat internasional, khususnya yang memberi perhatian pada pelestarian budaya tradisional, mulai dari komunitas arkeologi hingga badan dunia di PBB yang mengurusi kebudayaan (UNESCO) akan mengecam habis-habisan Sulawesi Barat.

Kita jangan mencontoh habis-habis Cina, demi bendungan “Tiga Raksasa”, mereka rela menenggelamnkan ratusan kampung, memindahkan jutaan penduduk, dan beberapa situs bersejarah mereka.

Pertama, Cina negara industri. Kebutuhan energi sangat mendesak. Kedua, mereka negara militer yang bisa memaksakan kehendak. Ketiga, mereka memiliki banyak situs bersejarah. Hilang satu dua tidak apa-apa, masih ada puluhan (sedang kita, di Sulbar hanya ada satu). Keempat, DAM yang dibangun bisa mencegah banjir rutin yang terjadi di Sungai Kuning. Dan kelima, Cina tidak perlu mengutang duit untuk membangunnya.

Kesimpulannya, jika memang gubernur kita seorang yang kreatif, visioner, dan seorang bapak pembangunan yang beradab, maka dia akan bisa membangun PLTA Karama dengan tetap melestarikan situs Kalumpang.

Tetapi jika hanya berhasil membangun PLTA Karama dengan menjadikan situs Kalumpang sebagai tumbal, entah apa gelarannya.

Semoga saudara-saudara kita di Kalumpang bisa mempertahankan hak kebudayaan dan warisan leluhurnya, walau berhadapan kekuatan maha dahsyat.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline