Lihat ke Halaman Asli

Wae Rebo: Masa Lalu yang Tersembunyi

Diperbarui: 9 Maret 2017   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Kota bukanlah kediaman kekal, sedang kampung adalah rumah bagi setiap keingian untuk pulang. Itu sebab di penghujung tahun kemarin, saya bersama enam sekawan bertualang ke rumah yang diceritakan manusia tujuh benua, Wae Rebo. Sebuah kampung kecil yang kisah dan pesonanya telah menyebar ke tujuh arah mata angin. 

Kami memulai perjalanan dari Ruteng, sebuah kota kecil di Flores Barat. Meski Desember berlimpah dengan hujan, kami bersiteguh untuk pergi. Hujan turun dan jalanan yang tak selalu ramah merupakan satu paket perjalanan yang, bagi saya, selalu istimewa. Kami berangkat pagi buta menembus kabut yang menyelimuti kaki bukit (Golo Lusang), melintasi jalanan yang sering diacuhkan pemerintah. Promosi pariwisata terkadang tak selalu beriringan dengan pembangunan infrastruktur. Yang satu gencar diumbar, yang lain malah dicecar. Jalanan yang dilalui penuh lubang seakan menyimpan luka-duka masa lalu. Saya agak maklum. Ini Desember. Hujan selalu tangguh untuk mengacuhkan jalanan yang dibangun setengah hati. 

Sebetulnya, jarak Ruteng-Denge (perhentian pertama) dapat ditempuh selama 3 jam-an perjalanan dengan sepeda motor. Namun, perjalanan kami selalu kelimpahan dengan bonus waktu hingga melebihi empat jam. Toh, dalam setiap ziarah dan petualangan, bagi saya, satu hal yang selalu disyukuri adalah cara kerja Tuhan dalam mencipta dunia. Sepanjang jalan menuju Denge, kami menyaksikan dunia yang asali dan mengagumkan. Saya cenderung meyakini, manusia memang tak bakal sanggup menata dunia dengan cara ajaib yang pernah dan selalu dibuat Tuhan. Hutan, hujan, lembah, ngarai, sungai dan lautan, semuanya kami lintasi. Adakah pesona yang lebih puitis dan komplit daripada yang natural semacam itu?

Sebelum pukul 11 siang, ketika matahari berada di titik tertinggi, kami tiba di ujung Denge, tempat perhentian pertama, di pinggiran hutan di kaki gunung. Hujan turun lebat sekali, seperti rindu yang sengaja saya simpan untuk seorang perempuan, deras sekali. Semuanya tumpah. Tak ada keluhan, apalagi umpatan. Sejenak kami berhenti sebelum akhirnya memulai perjalanan, meniti setapak yang berlumpur. Aihhh, perjalanan yang mengagumkan, saya kira, perjalanan yang menolak rancangan dan memeberikans egalanya bagi setiap kejutan.

Begitulah yang kami alami. Sepanjang empat kilometer lebih dari kaki gunung menuju Wae Rebo, hujan turun amat deras. Kami menikmati setiap butir airnya yang jatuh. Gemuruh suara guntur, atau bunyi air yang jatuh di dahan, sangatlah menenangkan dan menyenangkan. Riuh sungai di kejauhan, cuit burung-burung, dan sesekali tawa dan nyanyian-nyanyian yang keluar dari mulut kami memecah keheningan hutan. Sungguh, bagi saya, yang mengagumkan dari Wae Rebo, bukan pada kampungnya. Tetapi, pada setiap jejak langkah yang saya ayunkan dalam setiap perjalanan menuju Wae Rebo. Keindaha kampung Wae Rebo hanyalah bonus dari perjalanan itu. 

Tanjakan empat kiloan meter kami tempuh dengan semangat yang utuh, walau sebetulnya perut kami dihajar rasa lapar setengah mampus. Ketika akhirnya kami tiba di pintu kampung, di pinggir hutan, kami berhenti untuk sejenak mendamaikan rasa lapar. Makan seadanya dari bekal yang dibawa serta. Selepas tenaga dipulihkan, kami melanjutkan perjalanan, menuju kampung utama. Kami bertemu penduduk setempat yang ramah.

Hujan masih belum juga berhenti. Tubuh kami sepenuhnya telah basah. Lagi-lagi tak ada keluhan. Kami tak berniat untuk menetap atau menginap. Perjalanan masih harus dilanjutkan. Wae Rebo hanya sebuah persinggahan. Sesudahnya, kami menuntaskan bagian lain yang penting dari perjalanan yakni merekam kenangan dalam bentuk gambar atau catatan.  

Pukul empat sore kami melanjutkan perjalanan. hanya tiga puluhan menit kami di tinggal. sebab hari sudah sangat sore. Hujan tak lagi lebat, hanya rintih-rintih dan kami kenyang oleh makanan dan kekaguman akan dunia dan penciptanya. Kenangan lekas kami abadikan dalam lensa dengan beragam gaya. Pulang adalah sebuah keharusan, sebab hidup tidak berhenti pada satu titik atau di sebuah singgah. 

Masih ada banyak ziarah yang perlu dilanjutkan dan ditempuh untuk menjadi manusia yang utuh dan sungguh. Kami pun  menelusuri jalan setapak di tengah hutan dengan perasaan lega dan bahagia. Mungkin memang benar, tempat terbaik untuk menyembuhkan setiap luka dan duka dalam diri manusia adalah alam semesta. Pergilah ke alam, dan semesta akan menyembuhkanmu. Perjalanan pulang terasa lebih gesit, meski kami mengayunkan langkah santai. 

Selepas perjalanan dari sana, banyak pertanyaan yang mampir ke tempurung kepala saya.

Apa sebetulnya yang pantas diceritakan dari perjalanan itu? Alam yang megah atau jalanan yang payah? Penduduk yang ramah ataukah petualang yang dihajar lapar? Saya kria, segalanya layak untuk dikisahkan. Itu sebab mengapa cerita ini saya bagikan. Hidup yang singkat dan sahaja ini, perlu disyukuri dan dijalani dengan sungguh. Perasaan macam itu jarang muncul dalam dunia yang penuh riuh dengan infomrasi yang gaduh. Itu sebab mengapa sesekali manusia perlu kembali ke alam untuk mendengar dan melihat siapa ia sebenarnya, lalu mensyukurinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline