Ada saja cara bagi kita untuk mendapatkan pelajaran dari kehidupan ini. Kasus tabrakan maut di jalan MI Ridwan Tugu Tani dua hari lalu selain menyisakan duka juga memberikan pelajaran berharga; narkoba membawa sengsara. Apriyani sang pengemudi dan tiga rekannya yang menumpang Xenia pagi itu dipastikan telah mengkonsumsi obat terlarang. Hanya selang 23 jam setelah kejadian yang merenggut 9 nyawa, di internet, termasuk di beberapa situs pemberitaan, telah beredar foto Apriyani tengah berpesta minuman keras bersama beberapa kawannya. Apriyani sendiri akhirnya mengakui kalau ia semalam sebelum peristiwa tragis itu ia 'beredar' dari satu tempat dugem ke tempat dugem lainnya. Kasus tabrakan maut ini terjadi selang beberapa pekan setelah muncul rencana pemerintah melalui Kemendagri untuk mencabut peraturan daerah (perda) yang melarang peredaran minuman keras di sejumlah daerah. Sebagaimana diketahui, beberapa daerah seperti Indramayu, Tangerang dan Bulukumba memang membatasi dengan ketat peredaran minuman keras. Perda pelarangan miras akan dicabut pemerintah dengan alasan bertentangan dengan peraturan pemerintah yang lebih tinggi lagi yakni Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Padahal, menurut pengakuan sejumlah pemerintah daerah yang memberlakukan perda pelarangan peredaran miras, angka kejahatan di daerah mereka menurun drastis setelah perda itu diberlakukan. Sudah sejak lama sebenarnya orang percaya bahwa miras adalah biang kejahatan. Hal ini juga diakui oleh sejumlah Kapolda. Polres Minahasa Utara misalnya mencatat, dari 969 kasus kejahatan dan KDRT sepanjang 2011 di wilayahnya dipicu oleh minuman keras. Oleh karena itu Kapolres Minut AKBP Hari Sarwono SIK Mhum mencanangkan tahun 2012 sebagai tahun anti mabuk (TRIBUNMANADO.CO.ID, 5/1/2012). Kepolisian Daerah Sulawesi Utara juga melaporkan sekitar 70 persen tindak kriminalitas umum di Sulawesi Utara terjadi akibat mabuk setelah mengonsumsi minuman keras. Kepala Bidang Humas Polda Sulut Ajun Komisaris Besar Benny Bela di Manado, Jumat (21/1/2011), mengatakan, masih tingginya tindak kriminalitas di daerah itu disebabkan oleh minuman keras. “Diperkirakan 65-70 persen tindak kriminalitas umum di daerah itu akibat mabuk minuman keras,” katanya. Selain itu minuman keras juga berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas di daerah itu. “Sekitar 15 persen kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh minuman keras,” katanya (kompas.com, 21/1/2011). Mungkin sebagian orang berprinsip HAM dan kebebasan. Membeli miras dan minum miras kan bagian dari kebebasan dan hak asasi manusia. Pertanyaannya ialah, apakah mereka siap dengan konsekuensi dari mabuk 'air kata-kata' tersebut? Termasuk menerima kenyataan korban berjatuhan seperti dalam kejadian di Jakarta kemarin? Bukankah orang lain juga punya hak untuk mendapatkan rasa aman dari gangguan orang lain? Bukankah bila sudah mabuk semuanya menjadi lepas kendali? Peristiwa tragis ini seharusnya makin membuka mata kita dan pemerintah, bahwa miras dan narkoba memang memicu tindak kejahatan termasuk menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Mencabut perda miras hanya memenangkan ego sebagian kecil penikmat minuman keras dan pastinya untuk menguntungkan para pengusaha minuman keras. Tapi mencabut perda miras justru menebar ancaman bagi kebanyakan orang. Cukuplah keluarga korban kecelakaan lalu menjadi bukti dampak buruk dari miras dan narkoba. Masih mau mencabut perda miras? Pikir-pikir lagilah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H