Lihat ke Halaman Asli

Selamat Buat Siswa/Mahasiswa Baru

Diperbarui: 10 Juli 2015   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun ajaran baru 2015 kali hadirya memang spesial. Datangnya pas “jatuh tempo”, kebetulan Ramadan (bagi umat muslim), pas pula menjelang lebaran. Apalagi bertepatan dollar lagi melonjak, harga-harga ikut naik.
Bagi orangtua, beberapa hari kemarin anaknya diterima sebagai murid baru. Termasuk ada yang diterima pula di SMBPTN (pengumuman 9 Juli 2015). Tentu saja cukup gembira.
Bagi orangtua yang sedih karena anaknya tidak diterima di sekolah negeri atau PTN, tentunya saya ucapkan semoga tetap sabar dan ikhlas. Mungkin ada yang memilih sekolah swasta atau perguruan tinggi swasta.

Rasanya cobaan di bulan ramadan ini bukan hanya sekadar menahan haus dan lapar saja. Saat ini orangtua dibikin sesak napas dan jantung berdebar memikirkan buah hatinya ingin melanjutkan pendidikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Inilah periode diperhitungkan banyak mengeluarkan biaya.

Bagi orang mampu, mungkin tidak begitu beban soal biaya pendidikan. Tapi bagi golongan kelas menengah ke bawah, penghasilan pas-pasan, biaya pendidikan menjadi beban maha berat.
Meski di sekolah negeri ada yang membebaskan SPP (gratis), orangtua terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk perlengkapan sekolah/kuliah. Apalagi pada mahasiswa baru yang diterima di PTN luar kota, setidaknya perlu biaya tambahan untuk kontrak kamar/kost. Biaya dapur jadi terbelah dua.

Tapi sekarang di beberapa PTN tidak lagi memungut uang pangkal. Melainkan diberlakukan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) per semester. Besarnya disesuaikan kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa. Biasanya kemampuan membayar uang kuliah dicantumkan dalam isian online sebelum anak tes SBMPTN.

Namun sulitnya, kemauan si buah hati cukup kuat, kasang-kadang lupa kondisi ekonomi dan lokasi (pilihan) kampus yang dituju. Demi tidak mematahkan semangat si buah hati, orangtua mengamini saja kemauan si anak. Ketika diterima di PTN luar kota, bagi orangtua berpenghasilan pas-pasan, inilah yang sering bikin kepala berdenyut.

Selain itu, pilunya jika gagal masuk PTN, pilihan lain ke PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Lantas berapa biayanya? Uang pangkalnya bisa puluhan sampai ratusan juta rupiah karena PTS tidak disubsidi pemerintah.

Begitu juga dengan sekolah swasta, Seluruh biaya dibebankan kepada siswa, termasuk SPP, perlengkapan sekolah dan DSP (Dana Sumbangan Pendidikan).
Itulah sebabnya sekolah negeri dan PTN dianggap tujuan utama. Selain faktor gengsi, kini tidak ada lagi alasan mahasiswa PTN gagal kuliah karena faktor biaya. Pihak kampus lewat subsidi pemerintah telah menyiapkan beasiswa bahkan biaya kehidupan (cost of living) selama studi. Kemudahan ini diberikan khusus bagi mahasiswa yang mengalami hambatan finansial.
Sayangnya untuk lolos diterima PTN, itu bukan cerita gampang, kompetisinya sungguh ketat.

Orang Miskin Dilarang Sekolah” kata buku Eko Prasetyo (2009). Menurutnya, kini wajah pendidikan kian dicemari oleh mahalnya biaya dan kekerasan yang terjadi di dalamnya. Para korban, lagi-lagi adalah orang miskin yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini. Kepercayaan atas pendidikan kian luntur, apalagi jaminan masa depannya juga kabur. Kondisi demikian oleh Paulo Freire (Pedagogy of the Opressed, 1970) disebut akibat terjadinya proses dehumanisasi pendidikan.

Celakanya, pendidikan murah apalagi gratis seakan hanya retorika belaka dan janji politik yang sering ditiupkan calon Kepala Daerah acapkali membius rakyat. Realitanya sering kita saksikan siswa miskin tersandera raport atau ijazahnya lantaran belum melunasi tunggakan iuran di sekolah. Betapa mirisnya tatkala siswa miskin berprestasi, punya kemampuan akademik baik, meratapi nasibnya ingin sekolah atau kuliah.

Dahulu tahun 80-an ada tokoh pendidikan, Prod.Dr. Andi Hakim Nst, Rektor IPB. Selain dikenal sebagai penulis di bidang pendidikan, beliau juga sangat concern mengamati anak-anak pintar yang terhambat karena kemiskinan ekonomi.  Pernah beliau simpati kepada calon mahasiswa baru yang tak kunjung datang mendaftar ulang ke IPB. Beliau mengirim surat kepada mahasiswa tsb, dengan alamat: Desa X, Dusun Y, rumah dekat pohon waru (sesuai alamat yang tercantum ketika calon mahasiswa ikut jalur undangan, kalau sekarang SNMPTN). Karena surat tak kunjung ada balasan, sang profesor mengirimkan stafnya ke kampung sang mahasiswa. Ternyata memang benar adanya, sang mahasiswa tsb anak petani berada di desa terpencil, dan ditemukan yang sedang membantu ayahnya di sawah. Karena kasihan dan melihat potensi sang mahasiswa, Prof Andi Hakim pun meringatkan beban ekonomi sang mahasiswa selama menjalani kuliah di IPB.

Dari kisah di atas, mudah-mudahan banyak rektor/kepala sekolah dinegeri kita saat imi meniru sikap humanis yang pernah dilakukan Prof Dr Andi Hakim Nst (alm) tsb...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline