Lihat ke Halaman Asli

Bertemu Keluarga is a Matter of Struggle - as Always

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1355310816680683521

bertemu keluarga is a matter of struggle - as always, tidak gampang.   Tapi "tidak bertemu keluarga" lebih tidak gampang lagi. Awal bulan ini saya menghadiri Konferensi Internasional di Malang,  di hari terakhir saya bisa saja mampir ke rumah di Kediri - masih punya 23 jam lagi untuk tiba di bandara (kalo tak mau ikut acara jalan-jalan yang sifatnya opsional buat peserta).  Tapi usu- diusut, it must take 4 hours to get there - oh no!!, saya sudah cukup letih dengan konferensi yang berlangsung empat hari ini, berat.   Di tengah kebimbangan, saya putuskan untuk tidak ke sana.  Yang tak saya sadari, pergulatan untuk tidak menyesali keputusan ini ternyata tak kalah beratnya - apalagi Pak Dhe Fadholi baru saja meninggal hampir sepekan sebelumnya. Sabtu, 8 Desember 2012,  seperti biasa saya harus mengajar di Kampus UHAMKA Pasar Rebo siangnya, dan di kampus Limau sore harinya.   Semester ini saya memang mengajar Senin sampai Sabtu,  jangan tanya berapa kelas yang saya ajar:  uuakehh, jare wong jowo. Istriku tercinta, Dya', sudah menyiapkan segala keperluan untuk menginap di Otista - pagi-pagi, sebelum kami berangkat ke kampus masing-masing.  Ya, sabtu ini Dya' masih harus kembali lembur di lembaganya - seperti beberapa sabtu sebelumnya.  To be honest, saya lebih senang kalau saya dan dya' bisa menikmati sabtu dan ahad sebagai hari keluarga.  Saya merasa Labib dan Majid sudah semakin jarang didampingi ortunya semester ini dibanding waktu-waktu sebelumnya.  Tak jarang, saya baru sampai di rumah malam hari - demikian pula Dya' dalam sebulan terakhir ini.  Praktis hanya hari ahad yang masih utuh tersedia untuk menikmati kebersamaan - itu pun kalau tidak ada undangan ke luar.  Tega meninggalkan mereka di hari sabtu, sudah merupakan perjuangan berat tersendiri.  Sabtu menjadi lebih berat karena saya biasanya harus menghadapi tiga kali kemacetan - dari Ciputat ke Pasar Jumat, dari Lebak Bulus ke Limau, dan dari Limau ke Ciputat. back to the story, rencananya Dya' akan lembur sampe sore.  Pulangnya akan bawa taksi, dan langsung ambil Labib dan Majid lalu menjemput saya di UHAMKA Limau - untuk kemudian meluncur ke Otista - tentu saja demi pertemuan keluarga yang memang cuma sebulan sekali jadwalnya.  Itulah kenapa barang-barang bawaan harus dia sudah persiapkan pagi-paginya.   Tapi rencana tinggallah rencana, Dya' ternyata harus lembur sampai 'kelar kerjaan'. Singkat cerita, saya harus pulang - syukur mendapat tumpangan.  Sebelum sampai rumah, saya stop taksi lalu ambil Labib (yang sudah gusar menanti dari sore hari) dan Majid, yang sudah pulas tertidur.  Sekarang sudah hampir jam 8, tanpa salin baju ataupun makan dulu, saya langsung bawa dua 'bocil' ini meluncur hampiri 'ibu' di UIN. Ah, senangnya.  Perjalanan ke Otista selalu saja menyenangkan - tak terkecuali malam itu.  Sama menyenangkannya dengan rihlah pulang kampung setahun sekali ke Kediri.  Lega rasanya, lega karena sudah terhindar dari 'perjuangan yang lebih berat' bila tak bersilaturahim dengan keluarga.   Entah nantinya di sana ketemu banyak orang atau segelintir saja, itu lain soal - saya tak ambil pusing dengan itu.  Dulu, sebelum ada pertemuan keluarga yang dijadwal rutin, kami sudah biasa ke Otista cuma untuk menjumpai fakta hanya ada satu dua yang bisa kami temui di sana - atau ada cukup banyak orang tapi hanya bisa ditemui sekilas-sekilas karena masing-masing hilir mudik untuk suatu kesibukan. Saya tak ingat berapa banyak dalil tentang keutamaan silaturahim - mungkin saking banyaknya.  Tapi, zaman sering mengedit buku dulu, saya ketemu dengan hadis yang menyentuh sekali: "Ada seseorang yang ingin mengunjungi saudaranya di desa lain. Allah lalu mengutus malaikat untuk membuntutinya. Malaikat pun mendampinginya dan bertanya, 'Ke mana engkau mau pergi?' 'Aku ingin menyambangi saudaraku yang tinggal di daerah sana?' begitu jawabnya.  Malaikat pun kembali bertanya, 'Apakah ada suatu nikmat yang kamu peroleh lantaran dia?' Ia menjawab, 'Tidak'. Aku hanya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.' Malaikat itu pun berkata, 'Sungguh aku utusan Allah untukmu.  Allah sungguh mencintaimu karena kecintaanmu kepada saudaramu itu'." (Riwayat Muslim). Ah, Saya jadi tersadar: mengapa Saya sering berpikir kalau ke Otista itu baiknya harus sekalian ini sekalian itu (ada nilai 'bisnis'-nya maksudnya)? Astaghfirullaah... Diambil dari catatan adik ipar Saya - Izza Rohman Nachrowi pada grup fb keluarga HM. Amin Nashir mudah-mudahan bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline