Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Kurniawan

Wirausahawan sosial bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya insani.

Rangking, Nilai Tinggi & "Hantu" Obsesi Orang Tua

Diperbarui: 4 Juni 2017   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah berita pengumuman hasil UN SMP tahun 2017 di berbagai media, baik media arus utama maupun media sosial, kita dikejutkan oleh sebuah berita duka. Sebuah kisah tragis yang lagi-lagi terjadi di dunia pendidikan kita. Berly Dyah Handayani, siswi siswi  SMP Negeri 2 Manisrenggo, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah ditemukan tewas gantung diri. Dugaannya anak tersebut mengalami depresi gara-gara dimarahi ibunya karena hasil UN-nya yang tidak memuaskan dan memalukan meskipun dia lulus dari sekolahnya.

Disadari atau tidak inilah sebuah ironi dalam sistem pendidikan kita. Sistem yang masih mendewakan rangking. Sistem yang masih menggunakan evaluasi seragam untuk menguji bakat, potensi dan kecerdasan anak yang beragam. Dan sistem inilah yang telah bertahun-tahun menghantui para orang tua bahwa anak-anaknya hanya akan mencapai sukses bila punya nilai akademik tinggi dan peringkat tinggi pada hasil-hasil ujiannya. Terutama ujian nasional.

Saya pun mempunyai pengalaman yang serupa. Saya punya dua anak. Perempuan semua. Anak pertama saya sekarang sudah berumur 16 tahun. Namanya Izza. Sementara itu adiknya baru berumur 8 tahun. Kali ini saya akan bercerita tentang Izza. Di tulisan lain saya akan bagi pengalaman saya dengan anak kedua. Sebagai seorang ayah, terus terang saya mudah terpengaruh oleh berbagai berita tentang prestasi anak-anak seumuran Izza. Baik prestasi akademik maupun non-akademik.

Pengaruh ini akan semakin menguat bila ada anak yang berprestasi dan saya mengenalnya. Bisa karena dia anak teman saya sendiri atau teman Izza di sekolah. Seketika rentetan pertanyaan bermunculan di kepala. Kenapa yang berprestasi anak dia, bukan Izza? Apakah cara saya mendidik Izza salah? Bagaimana membuat Izza berprestasi seperti yang saya dan istri inginkan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada. Nada kekuatiran akan masa depan anak saya.

Saat Izza masih bersekolah di Jogja, saya sangat terobsesi ranking tinggi. Saya selalu memacunya untuk finish di 5 besar setiap semesternya. Berbagai cara pun ditempuh. Mengirimnya ke bimbingan belajar dan selalu memastikan bahwa dia tidak pernah absen. Tujuannya satu, ranking tinggi. Meminjam istilah teman saya, sekolah di Indonesia sangat berat karena semua hal dinilai dari sisi kognitif. Disadari atau tidak penilaian itulah yang berpengaruh pada cara kita mendidik dan memperlakukan anak-anak kita. Ada kepuasan tak terperi ketika si anak akhirnya mendapatkan ranking tinggi di sekolah. Sebaliknya pun tak jarang stres yang kita alami, bila ranking si anak masuk dalam kelompok 5 besar terbawah.

Obsesi saya terhadap Izza berubah saat dia pindah sekolah di Darwin, Australia. Mulai kelas 6 di primary school (SD), lalu middle school (SMP) hingga high school (SMA). Pelan-pelan saya mulai bisa berdamai dengan obsesi saya sekaligus bisa menerima keinginan dan bakat anak saya. Banyak aktivitas belajar-mengajar yang dilakukan Izza di sekolah, tak pernah saya bayangkan sebelumnya. 

Ambil contoh, sewaktu kelas 6, di setiap hari Jumat ada kelas memasak yang diakhiri dengan makan bersama. Ada lagi pelajaran sejarah yang mana cara mengajarkannya melalui kegiatan teater. Setiap murid memerankan tokoh tertentu. Mereka berlatih berminggu-minggu dan di akhir tahun ajaran diadakan pementasan drama tersebut dan disaksikan oleh para orang tua. Dan masih banyak lagi. 

Setelah menjalani sekolah di SD, SMP dan SMA Darwin, pelan tapi pasti, Izza menemukan passion-nya yakni di dunia fotografi dan bahasa. Bahkan dia sudah berani menyusun road map  how to get her dream-nya. Sebuah perencanaan masa depan yang akan menjadi pemandunya menjalani tangga-tangga menuju cita-citanya. 

Sistem pendidikan di Australia ini telah memperkaya perspektif pehamanan saya mengenai pola pendidikan anak. Kecerdasan anak tidak semata-mata diukur dari hasil ujian, namun lebih luas cakupannya. 

Ranking menjadi tidak berarti apa-apa. Banyak aspek lain dalam diri si anak yang juga harus dinilai dan diukur. Kuncinya adalah mengeksplorasi segenap potensi dan bakat dari si anak. Kalau sudah begini, maka saya hanya akan bilang bahwa anakku bukanlah aku. Aku adalah aku dan anakku adalah anakku dengan segenap potensi diri yang dimilikinya. Tugas kitalah, sebagai orang tua untuk mengarahkan dan membimbingnya sehingga potensi besar dalam diri si anak tidak sia-sia di masa mendatang.

Selamat belajar!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline