Usain Bolt adalah pelari tercepat di dunia. Dalam 3 olimpiade terakhir (Beijing, London dan Rio), dia menyabet medali emas 100 meter, 200 meter dan estafet 4x100 meter. Sebuah prestasi yang fenomenal. Berapa lama waktu yang dia perlukan untuk berlari 100 meter? Hanya di bawah 10 detik! Berapa lama waktu yang diperlukan untuknya sehingga bisa memegang rekor dunia untuk lari 200 meter? Kurang dari 20 detik!
Untuk tampil di ajang olahraga terbesar 4 tahunan tersebut dan berlari dengan waktu di bawah 20 detik, berapa lama waktu yang dibutuhkan Usain Bolt untuk berlatih? Tentu saja, tidak dalam seminggu, sebulan, ataupun setahun. Namun bertahun-tahun. Dan itu dilakukannya setiap hari secara rutin, dengan penuh kedisiplinan yang tinggi. Practice makes perfect. Begitu orang bijak mengatakan.
Sewaktu kesebelasan Jerman merebut Piala Dunia tahun 2014 yang lalu, mereka tampil di final mengalahkan Argentina dalam waktu 90 menit. Untuk sampai ke partai puncak, Jerman harus melakoni 6 pertandingan selama hampir sebulan penuh. Dan untuk bisa sampai ke putaran final, yang hanya diikuti oleh 32 negara, Jerman harus melakoni pertandingan penyisihan grup selama hampir 2 tahun! Lantas, berapa lamakah waktu yang dibutuhkan oleh tim Jerman ini berlatih? Tentu waktunya jauh lebih lama lagi. Tak cukup hanya setahun, 2 tahun namun lebih dari itu. Berbagai strategi, pola latihan dan evaluasi senantiasa dilakukan untuk mendapatkan prestasi tertinggi. Menjadi yang terbaik diantara yang terbaik. Sekali lagi, practice makes perfect.
Dua analogi dari dunia olah raga di atas sengaja saya sampaikan sebagai bahan refleksi untuk kita – khususnya saya pribadi – tentang bagaimana sebaiknya kita memposisikan bulan Ramadan ini dalam konteks perjalanan kehidupan kita.
Banyak saya dapati, penceramah atau ustadz menyampaikan bahwa bulan Ramadan adalah bulan pelatihan untuk kita. Bulan untuk kita berlatih sholat fardhu tepat waktu dan berjamaah di masjid, berlatih untuk meningkatkan frekuensi membaca Al-Quran, berlatih untuk lebih sering bersedekah dan berlatih amalan-amalan lainnya. Tujuannya tak lain adalah untuk membuat diri kita semua menjadi bertakwa.
Namun, tepatkah Ramadan ini disebut sebagai bulan pelatihan bila yang diharapkan adalah meningkatnya derajat takwa? Tepatkah bila sesudah bulan suci ini selesai, maka kita berharap akan beroleh kemenangan? Kemenangan setelah selama sebulan penuh berada dalam peperangan terbesar yakni perjuangan melawan hawa nafsu diri kita sendiri.
Adakah kemenangan itu lahir tanpa dibarengi dengan latihan spartan, terprogram dan terus-menerus? Adakah prestasi besar itu lahir dari sebuah pola latihan yang ala kadarnya?
Alangkah naifnya diri kita ini saat mengharapkan puasa kita, sholat fardhu kita, sholat tarawih kita, sedekah kita, dan amalan-amalan lainnya di bulan Ramadan ini akan mencapai hasil maksimal tanpa pernah diawali dengan latihan-latihan sebelumnya. Kapan kita harus melakukan latihan itu? Sebelas bulan sebelum Ramadan tiba adalah waktu latihan terbaik.
Pelan tapi pasti, terprogram, kontinyu, istiqomah serta dilandasi niat yang lurus dan ikhlas akan membawa kita pada peak performance saat bulan suci tiba. Hanya pada saat kita berada di puncak kekuatan lahir dan batinlah maka prestasi dan kemenangan besar niscaya akan kita raih. Bukankah justru pada bulan Ramadan kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang dalam perang Badar padahal pasukan mereka hanya 300 orang sementara kaum kafir Quraish berjumlah lebih dari 1300 orang? Itu semua bisa terjadi bila kita tidak menganggap bulan Ramadan sebagai bulan latihan namun menjadikan bulan suci ini sebagai bulan prestasi.
Dan menurut saya itulah maksud Allah menyediakan bulan Ramadan untuk kita semua, orang-orang beriman, sebagai bulan kompetisi. Bukan waktunya lagi untuk menjalani bulan suci ini dengan sekedar niat berlatih. Sehingga hanya merekalah yang sudah berlatih keras sebelumnya yang berhak atas prestasi takwa yang sesungguhnya.
Wallahu a’lam bishawab