Lihat ke Halaman Asli

Iwan Kartiwa

Guru dan Penulis Lepas

Multi Persepsi dan Klarifikasi Permendikbudristek No.30 Tahun 2021

Diperbarui: 14 November 2021   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 terus menuai polemik. Tidak berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya yang pernah dikeluarkan Mendikbud, peraturan ini pun menimbulkan multi persepsi dan terjebak pada pro kontra dari berbagai kalangan. Sebelumnya masih ingat dalam memori kita lahirnya SE (surat edaran) Mendikbud No. 1 tahun 2021 yang diluncurkan 1 Februari 2021 juga mengalami reaksi yang sama dari masyarakat luas. SE berisi mengenai peniadaan ujian nasional dan ujian kesetaraan serta pelaksanaan ujian sekolah dalam masa darurat penyebaran corona virus disease (covid-19). Khusus terkait peniadaan UN sampai sekarang masih menuai polemik karena dianggap ada kecacatan hukum yang mendasarinya. Kedudukan UN diatur dalam sebuah Undang-Undang namun dalam perjalanannya dapat dihentikan oleh sebuah surat edaran menteri. Beberapa ahli yang berpendapat peniadaan UN ini harusnya kembali diatur oleh produk hukum yang sama (yaitu setara UU) dan bukan produk hukum dibawahnya seperti surat edaran menteri tersebut.

Saat ini dunia pendidikan dan masyarakat luas kembali dibuat merenung pasca lahirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Peraturan ini berisi tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang ada di lingkungan perguruan tinggi (PPKS). Seperti biasa respon berbagai kalangan seolah kembali terbagi dua, ada yang pro (mendukung) dan yang kontra (menentang) substansi keberadaan peraturan tersebut. Untuk pihak yang pro (mendukung) salah satunya sangat tegas diberikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Ia menyebutkan peraturan Mendikbudristek sangat penting sebagai payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang marak di perguruan tinggi. Menteri Agama juga menegaskan tidak ada alasan untuk tidak memberikan dukungan terhadap Permendikbudristek No. 30. Menag berharap regulasi tersebut bisa membuat perguruan tinggi merdeka dari kekerasan seksual. “Permendikbud menurut saya sangat revolutif, membongkar selama ini yang buntu-buntu, kejumudan, stagnasi penyelesaian kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, ujarnya. Sebagai tindak lanjut Kemenag akan mengeluarkan SE Sekjen Kemenag tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) (Tempo.co, edisi 12 November 2021).               

Sumber dukungan lainnya muncul karena PPKS ini dinilai bersifat sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif pada korban, dimana salah satunya mengatur soal consent atau persetujuan. Dalam hal ini penggiat HAM (hak asasi manusia) Nisrina Nadhifah berpendapat selama ini belum ada peraturan yang memiliki aspek pencegahan dan penanganan yang berpihak pada korban. “Bahkan sangat spesifik ada pasal yang menyebutkan bahwa definisi kekerasan seksual itu adalah ketiadaan consent persetujuan dari kedua belah pihak” kata Nisrina (Kompas.com, edisi 10 November 2021).

Sebaliknya respon penentangan juga tak kalah bermunculan. Satu diantaranya berasal dari Ketua Majelis Diklititbang Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. H. Lincoln Arsyad, beliau menilai peraturan itu cacat secara formil karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina. Menurutnya salah satu cacat material dapat ditemukan pada Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa “tanpa persetujuan korban”. “Pasal 5 Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan”, tegasnya.

Penentangan serupa datang pula dari anggota Komisi X DPR, Illiza Sa’aduddin Djamal. Beliau menganggap keberadaan Permendikbudristek ini akan berpotensi merusak standar moral mahasiswa. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dibenarkan meski dilakukan di luar pernikahan (beritadiy, edisi 12 November 2021).

Penentangan lainnya berasal dari Sekjen Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Kusyairi Suhail. Beliau menyoroti bahwa pada Pasal 3 terlihat prinsip pencegahan yang mengabaikan norma agama. Selanjutnya pada Pasal 5 terlihat ada kesan menimbulkan legalisasi terhadap tindakan seks bebas.

Menanggapi situasi pro kontra yang terjadi, Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim mencoba mengklarifikasi sejumlah perbedaan pendapat dan multitafsir yang selama ini terus berkembang. Setidaknya ada 2 alasan fundamental lahirnya permendikbud tersebut, yaitu pertama, terkait penuntasan 3 dosa besar pendidikan Indonesia, salah satunya adalah kekerasan seksual. Kedua, soal situasi kegawatdaruratan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Oleh sebab itu hal ini menurutnya harus diselesaikan secara logika melalui kerangka pencegahan dan penanganan.

Menteri Nadiem Makarim, menjelaskan ada 3 esensi yang terkandung dalam Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 yaitu adanya 1). Adanya satgas yag bertanggungjawab, 2). penjabaran definisi kekerasan seksual dan 3). adanya partisipasi civitas akademika. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1). Di sebuah perguruan tinggi harus dibentuk satu unit bernama Satgas (satuan tugas) yang bertanggungjawab melakukan semua pelaporan, pemulihan, perlindungan dan monitoring rekomendasi sanksi dalam PPKS di lingkungan kampus. 2). Untuk pertama kalinya di Indonesia ada definisi yang disampaikan sangat spesifik mengenai 20 perilaku yang dapat dikategorikan kekerasan seksual (dapat berupa kekerasan fisik, verbal bahkan digital). 3). Adanya partisipasi aktif dari seluruh civitas akademika dalam proses PPKS tersebut.

Klarifikasi juga disampaikan terkait dengan definisi kekerasan seksual, dimana definisi ini menjadi hal yang sangat urgen dan sangat mendesak untuk diselesaikan. “Permasalahannya adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual itu definisinya adalah secara paksa”. “Secara paksa artinya adalah tanpa persetujuan dari korban. Itulah yang menjadi alasan mengapa secara yuridis kita menfokuskan permen ini hanya untuk kekerasan seksual”, tegasnya.

Mendikbud Nadiem Makarim juga membantah adanya anggapan bahwa Kemdikbudristek mendukung dan melegalkan seks bebas, serta tidak bisa menerima fitnah bahwa dirinya dianggap melegalkan zina dan seks bebas. Klarifikasi berikutnya lebih pada mempertegas dan memperjelas bahwa terdapat 2 konsep yang berbeda yaitu kekerasan seksual dan seks bebas. Keduanya itu merupakan hal yang berbeda. Permendikbudristek ini hanya fokus pada masalah kekerasan seksual saja.

Demikian tadi sejumlah klarifikasi terhadap polemik Permendikbudristek No. 30 tahun 2021. Lalu bagaimana kita menyikapi keberadaan dan keadaan dari polemik tersebut. Paling awal tentu kita semua harus berpikir positif. Artinya bahwa peraturan-peraturan yang sudah dibuat sudah melalui berbagai pengkajian dan pertimbangan yang seksama. Kita percaya pemerintah dalam hal ini lembaga terkait tidak akan mendukung atau menjerumuskan masyarakatkanya pada legalitas perzinahan atau kegiatan seks bebas yang sangat bertentangan dengan norma sosial, negara maupun agama, 2) menahan diri, tentu kita bersepakat untuk dapat menahan diri dan mendengarkan berbagai penjelasan dari pihak yang kompeten di bidangnya secara lebih jelas, tegas dan komprehensif dan  3). Apabila rumusan dalam Permendikbudristek tersebut dianggap belum baik dan ditemukan ada bagian-bagian tertentu yang masih bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan yang ada, tentu mekanisme perbaikan atau revisi, evaluasi dan refleksi terhadap substansi dari permen tersebut dapat dilakukan sehingga menjadi lebih baik, sempurna dan minim resistensi, semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline