Kehadiran Opa, begitu kami menyebutnya, di kantor seperti orang tua sendiri. Kepadanya kami merasa takzim. Ia karyawan yang turut membesarkan perusahaan. Sejak berdiri hingga memiliki lima cabang saat ini, Opa tak pernah absen. Rasa memiliki Opa pada tempat yang ia besarkan ini begitu besar. Saat memasuki usia pensiun, Opa tak ingin mundur. Ia bersikeras terus membaktikan diri. Terus bekerja di bagian apa saja. Melihat kesungguhan Opa, pemilik perusahaan tetap memberi tempat padanya. Tak hanya itu, Opa diperkenankan menempati satu ruangan di kantor. Tempat Opa beristirahat selepas kerja. Opa memang tak memiliki keluarga. Sanak saudara Opa berada di luar pulau. Pagi itu Opa belum tampak seperti biasa. Kami mengira ia masih beristirahat di kamar. Sebagai orang yg telah uzur Opa biasa mengeluhkan kesehatannya. Namun tak ada penyakit serius yg diidapnya. Keberadaan Opa tidak diketahui hingga terdengar teriakan seorang rekan.
"Masya Allah, Opa!"
Didapati Opa terlentang di kamar mandi dalam keadaan telah meninggal dunia.
Aku termenung memandangi jasad Opa. Aku teringat peritiwa dua hari yang lalu, saat baru masuk kerja selepas cuti melahirkan. Opa menyambut dgn wajah sumringah.
"Maaf ya Nak Puspa, Opa blm nengok putranya", kata Opa.
"Tidak apa Opa, terima kasih banyak", jawabku.
Aku tak menghiraukan Opa yg terlihat masih ingin mengobrol denganku. Perhatianku terenggut olah rekan-rekan yang bergantian memberi ucapan selamat. Selintas kulihat Opa melangkah pergi meninggalkan kami. Tak seorang pun menemaninya. Opa terus melangkah menuju pintu keluar.
"Lihat ini Pa!" Sekar berbisik seraya menarik tanganku.
Diarahkannya pandanganku pada amplop putih di atas meja.
"Teruntuk Nak Puspa. Selamat berbahagia atas kelahiran jagoannya".