Mobil minibus keluaran Negeri Ginseng itu melaju membawa kami. Saya dan lima belas rekan terbagi dalam dua kendaraan. Kami keluar dari Bandar Udara Al Najaf Al Ashraf International saat malam baru saja turun. Mobil kami melaju kencang di ruas-ruas jalan yang lebar diterangi sorot lampu yang terang.
Duduk di sebelah pengemudi Karaeng Ewa, amirul ziarah kami. Pemimpin rombongan yang fasih berbahasa Arab dan Parsi. Dua diantara bahasa yang dipergunakan warga kota Najaf. Terdengar mereka berbincang diselingi tawa berderai. Meski baru bertemu, terlihat keakraban diantara keduanya. Penduduk Najaf umumnya senang berbincang dan memiliki perangai ramah.
Tak sampai satu jam kami menikmati perjalanan, pak sopir yang disapa Amu Ali menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Kami pun turun dengan menenteng tas dan koper bawaan. Tempat yang kami datangi adalah Makam Kumail bin Ziyad, seorang alim pada zamannya yang mendapat karomah, keutamaan, menerima doa dari Nabi Hidir A.S. Untaian doa yang kemudian dikenal sebagai Doa Kumail. Doa yang cukup panjang ini dibaca setiap malam Jumat dan pada pertengahan bulan Syaban yang disebut nisyfu Syaban.
Komplek makam Kumail bin Ziyad terletak di tengah kota. Cungkup makam yang dinaungi "sangkar" besi berornamen keemasan terletak di dalam masjid beratap tinggi dan luas. Tak membuang kesempatan, kami memasuki ruangan makam dan menghantarkan doa ziarah. Inilah ziarah kami yang pertama. Tak kuasa menahan rasa haru. Tak terkira rasa syukur kami. Kami mendapat kesempatan menziarahi pemuka agama yang doanya senantiasa kami baca.
Usai berziarah, kami melanjutkan perjalanan. Mobil kembali melaju di ruas jalan yang lurus dengan pemandangan penuh warna di dua sisinya. Pada satu titik kami melihat deretan toko dengan lampu-lampunya yang menyilaukan. Neon-neon box bergambar iklan produk bertebaran. Terlihat menarik dan unik bagi kami. Produk minuman bersoda yang tak asing di tanah air misalnya, tampil dalam nuansa yang lain. Iklan-iklan itu menggunakan tulisan Arab.
Pada titik yang lain kami melintasi hamparan tanah kosong. Tak banyak yang kami saksikan selain tiang-tiang listrik yang diberi nomor. Selebihnya hanya pemandangan gelap yang menyelimuti. Pada titik-titik yang lainnya lagi, kami menyaksikan gedung-gedung dengan plang nama di depannya. Sepanjang perjalanan pandangan saya tak henti berkelana.
Akhirnya kami sampai di tujuan. Amu Ali kembali memarkir mobilnya dan kami bergegas turun. Kami tiba di lokasi yang kelak akan menjadi lintasan jalan kaki panjang, 80 Km, yang mesti ditempuh. Kami memasuki rumah persinggahan yang akan menampung selama malam dan siang esok harinya. Di tempat ini telah tiba para peziarah yang datang dari Mesir. Mereka telah lelap tertidur, berjejer di satu sisi ruangan yang kami masuki.
Berjalan Kaki 80 Kilometer
Perjalanan ribuan mil dimulai dari langkah pertama. Ungkapan mashur ini kami lakoni sore ini. Setelah bersistirahat sepanjang malam ditambah duduk-duduk santai sepanjang siang, kami rasa telah cukup untuk menabung tenaga. Kami telah siap dengan ransel di punggung, topi, dan pernik lain yang menunjang perjalanan.