Lihat ke Halaman Asli

Iwan Setiawan

Menulis untuk Indonesia

"Observasi Rumpun", Study Banding ala SMA Plus Muthahhari

Diperbarui: 19 Januari 2023   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

photo dokumentasi pribadi

Adzan Maghrib belum lama berkumandang. Shalat berjamaah baru saja didirikan. Tak membuang-buang tempo, para santri Madrasatul Quran, Jombang membenamkan diri dalam kegiatan pesantren. Mereka duduk berbaris, di bawah sinar lampu yang terang. Busana bernuansa putih yang dikenakan seolah memancarkan cahaya keilmuan. Gairah mereka mempelajari Al Quran yang berkobar.

Para santri tingkat menengah ini mengikuti dengan penuh kesungguhan apa yang dilafalkan Ustadz pembimbing. Mereka melatih lisan dan melafalkan ujaran sesuai kaidah ilmu Tajwid. Mereka berlatih makhrajul huruf , tata cara melapalkan huruf, bersama-sama. Riuh suara yang tercipta menghiasi malam sehingga terasa lebih indah.

Para siswa SMA Plus Muthahhari melarutkan diri bersama mereka. Mencoba menjalani rutinitas yang, dalam tingkatan berbeda, mereka amalkan juga di sekolah. Mereka melebur, menjadi santri di tempat  berkunjung. Air muka cerah memancar, menyemburatkan rasa dan semangat yang sama. Mempelajari Al Quran adalah sebaik-baik amalan. Mereka seakan tak ingin tertinggal dalam meraih keutamaan itu.

Demikian gambaran kegiatan sekolah kami, SMA Plus Muthahhari, saat melaksanakan kegiatan "Observasi Rumpun". Selama empat hari kami melaksanakan pembelajaran di luar kelas. Kami memilih lokasi di wilayah Jawa Timur, tepatnya di Jombang, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Blitar dan berakhir di Madura.

Persinggahan pertama kami adalah Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Di tempat yang telah meluluskan ribuan santri ini kami beraudiensi dengan jajaran pengurus. Kental terasa suasana pesantren modern di sini. Para guru yang disebut ustadz mengenakan sarung dan kemeja tanpa kerah yang disebut kemeja koko. 

Begitu pula dengan para santri. Tergambar satu budaya memuliakan tamu, orang yang lebih tua, serta para ustadz di sini. Setiap santri yang kami temui senantiasa menundukan pandangan, dengan tubuh yang merendah sebgai pertanda sikap tawadhu atau rendah hati.

Di tempat ini pula kami berkesempatan menziarahi kompleks pemakaman Presiden ke 4, Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Bersanding dengan makam tokoh yang menyandang sebutan sebagai pejuang kemanusiaan ini terdapat pusara Pahlawan Nasional K.H. Hasyim Asyari, K.H. Abdul Wahid, K.H. Abdul Wahid Hasyim, K.H. Yusuf Hasyim, Gus Solah, dan beberapa yang lain.

photo: dokumentasi pribadi

Pada hari ke dua, kami menginjakan kaki di "Tanah para Carok" Madura. Dalam perjalanan, kami melintasi jembatan laut yang panjang. Bis yang kami tumpangi menggelinding di jalan Tol yang membentang di atas laut. Di atas jembatan Surabaya -- Madura atau Suramadu yang membanggakan itu. 

Saat itu perasaan kami dag, dig, dug. Senang bercampur cemas. Kami tak ingin karam di dasar selat antara pulau Jawa dan pulau Madura. Kami mendengar cerita hoax bila mur dan baut-baut pengikat jembatan itu telah dipreteli tangan-tangan jahil, dijarah, dan dilebur untuk dijadikan celurit. Namun, tentu saja kabar ini sekadar isapan jempol. Jembatan sepanjang 5.800 meter itu baik-baik saja sampai kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline