Lihat ke Halaman Asli

Iwan Setiawan

Menulis untuk Indonesia

Lembar Terakhir Adiku

Diperbarui: 2 Desember 2021   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo diunduh dari Pixabay.com

Terkadang kita melihat kekurangan pada diri orang lain sebagai hal yang biasa. Keganjilan yang terdapat pada  orang lain sebagai hal yang wajar, yang tak mesti dtutup-tutupi. Bahkan hal itu seringkali dianggap sebagai bahan lelucon.

Adiku sering dibawa keadaan pada hal demikian. Orang seenaknya mengomentari kekurangan yang ada pada dirinya. Senyatanya, kekurangan itu begitu kecil, bahkan nyaris tak terlihat. Namun mata elang orang dengan segera menangkap dan lidah mereka melumatnya sebagai bahan guyonan. Ejekan lebih tepatnya.

Daging sebesar biji kedelai yang tumbuh di punggung kaki adiku kerap membuat layu rasa percaya dirinya. Kemunculan daging yang ganjil dengan segera mengundang perhatian. Saat bertelanjang kaki, orang dengan mudah melihatnya. Dan meluncurlah gurauan atau lebih perih dari itu, ejekan padanya. Sebetulnya mereka tak berniat demikian, namun aku yakin adiku merasakan kesan yang berbeda.

Dulu Si Fatur yang menelisik daging tumbuh itu. Ia bertanya dengan penuh selidik. Apa perlunya ia menanyakan hal yang bukan urusannya, pikirku. Hampir ia kubentak, namun aku masih bisa menguasai emosiku. Pertanyannya kulayani walau dengan perasaan dongkol.

Bisa saja kubalik keadaan. Dia sebetulnya memiliki keganjilan yang lebih besar pada drinya. Kaki sebelah kanannya berjumlah jari yang tidak wajar. Namun aku urung melakukannya. Kedudukanku sebagai guru dan ia murid membentengiku untuk berbuat nista dengan balik menghinanya.

Keluarga dekat pun acap menyinggung perasaan adiku dengan mengomentari daging tumbuh itu. Adiku tak dapat berbuat apa pun selain nyengir kuda, menyembunyikan rasa malu. Padahal hatinya pasti nelangsa, betapa dirinya jadi bahan ejekan yang tak kenal henti.

**

Titik terang itu menuju ke arah adiku. Rasa minder yang bertahun-tahun memeluknya tak lama lagi akan berakhir. Adalah dokter baik hati di sebuah klinik desa yang menawarinya untuk mengangkat kutil itu. Dokter Tiara namanya, orang yang ia kenal saat jumpa di pertemuan para tutor pendidikan kesetaraan.

Perjumpaan itu begitu singkat. Ketika itu adiku diutus Pak Aceng, atasannya, menghadiri penyuluhan tentang pembelajaran di masa pandemi ini. Dokter Tiara menjadi pembicara tunggal di hadapan tujuh puluhan tutor. Adiku ditunjuk jadi moderator acara. Acara itu mengantar adiku dan sang dokter saling mengenal lebih dekat. Hingga saat ini perkenalan mereka semakin erat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline