Seorang ustad memberi tausiah atau nasihat dalam ceramahnya. Beliau mengatakan umumnya di bulan Ramadhan, belanja harian para ibu membengkak. Kebutuhan dapur meningkat. Bila di bulan-bulan yang lain, bahan untuk memasak cukup sayuran dan tempe-tahu, plus ikan atau daging seminggu dua kali. Di bulan puasa, konsumsi ikan dan daging seperti wajib setiap hari. Belum lagi membuat kolak, es campur dan goreng-gorengan.
Ustad itu menambahkan, bila kita masih melakukan hal tersebut, puasa kita cenderung memanjakan diri. Kita berpuasa untuk memenuhi hasrat perut pada makanan. Saat berbuka segala makanan disantap, minuman direguk. Kita seolah balas dendam setelah sehari penuh menahan lapar dan dahaga.
Bila puasa kita masih seperti itu, ustad melanjutkan, puasa kita masih puasanya kanak-kanak. Kita belum berpuasa sebagai orang dewasa. Puasa kita masih terikat pada kesenangan dunia. Puasa yang bukan lillah, karena Allah SWT.
Nasihat ustad yang saya dengar lewat akun Instagram tersebut ada benarnya. Namun untuk melaksanakan seluruh nasihatnya terasa berat. Bulan puasa memang identik dengan meningkatnya belanja harian. Apalagi bila di tengah keluarga kita terdapat anak-anak. Rasanya tak sampai hati bila kita menyediakan menu berbuka dan sahur "ala kadarnya". Tentu kita ingin memberi menu yang sedikit berbeda dengan menu di hari-hari selain bulan puasa.
Sebagai akibat langsung dari sikap tersebut maka anggaran belanja pun melonjak. Biaya membeli sayuran naik dua sampai tiga kali lipat. Meningkatnya anggaran dapur mempengaruhi anggaran untuk "pos" yang lain. Namun, dengan sedikit "penyesuaian" semua dapat berjalan dengan semestinya. Semua "pos" pengeluaran keluarga terpenuhi walau dengan kondisi yang sedikit berbeda.
Strategi sederhana yang saya terapkan dalam mengatur anggaran Ramadhan ini, dapat dikelompokan dalam dua bagian. Yang pertama, memangkas biaya-biaya yang tidak dipergunakan di bulan ini. Yang kedua, menyalurkan dana yang didapat pada poin pertama ke "pos" yang pengeluarannya meningkat. Strategi ini saya namakan subsidi silang.
Di bulan puasa ini, anak-anak mendapat libur yang banyak. Melihat kalender pendidikan, waktu efektif pembelajaran sekitar dua minggu. Anak sekolah hampir menghabiskan setengah dari bulan puasa di rumah. Dengan demikian, mereka tidak mengeluarkan biaya rutin untuk transport dan makan. Apalagi saat ini masa pandemi. Seluruh aktivitas pembelajaran dilaksanakan di rumah.
Biaya tansfortasi dan konsumsi anak-anak yang tidak terpakai itu saya alihkan untuk menambah biaya belanja harian. Walau jumlahmya tidak cukup besar, hal ini ibarat transfusi darah yang dapat menyelamatkan jiwa.
Pengalihan dana lainnya, saya upayakan dengan menyimpan "dana siluman", dana yang tidak disangka-sangka munculnya. Masuk dalam dana ini uang rokok dan kopi misalnya. Selama Ramadhan, intensitas merokok dan ngopi tentu menurun.
Efisiensi lainnya didapat dari uang gas dan uang beras. Di bulan puasa tentu konsumsi keluarga pada nasi berkurang. Demikian pula dengan bahan bakar gas. Waktu memasak ibu di dapur tentu tidak seperti di waktu lain di luar bulan puasa. Sekali lagi, dana- dana ini dapat membantu menyelamatkan anggaran dapur ibu yang hampir sekarat :).
Mengelola keuangan keluarga, khususnya di bulan Ramadhan, membawa nuansa yang khas. Di bulan ini, lingkungan seolah "menggoda" kita untuk beperilaku konsumtif. Beragam jenis makanan muncul ke permukaan. Makanan-makanan jenis baru pun seperti sengaja diciptakan orang di bulan puasa.