Lihat ke Halaman Asli

Iwan Setiawan

Menulis untuk Indonesia

Cerpen: Kacamata Baca

Diperbarui: 13 Juni 2020   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi lelaki berkacamata hitam. (sumber: pexels.com/@picography)

Keinginan Sirun menjadi guru tinggal selangkah. Ia telah tiba di saat-saat akhir. Empat tahun masa menuntut ilmu di universitas negeri kebanggaan bangsa hampir saja diselesaikannya. 

Kalau saja mata kuliah Matematika tidak menyandung langkah, ia telah menyandang gelar. Namanya yang singkat akan dihiasi tiga huruf sakti: SPd., Sarjana Pendidikan.

Matematika menjadi momok bagi Sirun. Faktor genetis selalu menjadi penghibur hati dalam keterbatasan pemahamannya pada ilmu berhitung ini. Dari lima bersaudara, tak seorang pun yang menekuni bidang hitung-menghitung. 

Kakak tertuanya menjadi tentara. Kakak tengahnya hanya ikut suami. Dan yang lainnya jauh dari kegiatan berhitung, selain menghitung penghasilannya masing-masing. Itu pun tak pernah genap. Hitungan mereka selalu saja kurang dibanding dengan jumlah kebutuhan hariannya.

Orang tua Sirun tergolong kaum intelek pada zamannya. Bapaknya seorang pegawai pada kantor gubernur. Ia lulusan sekolah zaman kolonial yang bernama HIS, Holland Inlander School atau sekolah rakyat pada zaman kemerdekaan.

Ibunya kembang desa anak seorang kiyai. Menurut cerita bapak, mereka adalah pasangan serasi yang membuat banyak orang patah hati. Mirip-mirip pasangan dokter Reisa dan suaminya, Broto Asmoro, kurang lebih.

Disamping faktor genetis itu, Sirun memiliki pengalaman tak elok pada Matematika. Semasa SMA dulu ia seakan jadi patung monyet putih Hanoman di samping papan tulis. Ia berdiri di sana sepanjang pelajaran berlangsung.

Pasalnya, Sirun tak pernah bisa menyelesaikan soal integral parsial dari ibu Rosmaniar, guru bermata jeli yang dengan mudah mengenali mimik ketakutan muridnya.

Bukan kerumitan dalam mengintegralkan hasil kali dua fungsi itu yang membuat hati Sirun menciut. Kegagalannya menjawab tantangan yang diberikan guru bermarga Harahap itu, membuat harkatnya di mata Susanti meluncur kencang seperti penerjun. Susanti adalah siswi pandai berkulit seputih kapas yang ia senangi, melebihi kesenangannya pada Yadi teman sebangkunya.

Dengan latar demikian, tak usah heran bila hasil ujian akhir Sirun pada mata kuliah Matematika jeblok. Sirun mesti mengulang pada semester berikutnya, hal mana yang membuat ijazahnya tertahan selama enam bulan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline