Setiap hari selepas adzan Ashar, ruang aula sekolah kami berbenah. Karpet hijau bergambar kubah mesjid digelar. Rehal, meja kecil sebagai bantalan Al Quran diletakan di atasnya. Satu demi satu jemaah datang, duduk tertib menghadap meja kecil itu.
Tak berselang lama ruangan dipenuhi jemaah. Tadarus Al Quran pun berlangsung. Khidmat, lantunan ayat demi ayat yang dibaca bergema di ruangan yang cukup luas.
Usai mengaji bersama, acara berlanjut dengan majelis ilmu. Para pembicara yang mengisi kegiatan ini datang dari beragam latar belakang. Ada anggota DPR yang kebetulan menjadi pendiri sekolah kami.
Ada aktivis politik, ada pula seniman yang telah berkali-kali menggelar pameran karyanya. Namun yang paling sering berbicara pada kesempatan itu adalah para ustad yang menjadi pengajar di sekolah. Sekolah kami adalah sekolah Islam, karenanya tak sulit untuk mendatangkan penceramah yang memahami ilmu agama.
Penutup acara adalah berbuka puasa bersama. Inilah momen yang paling dinanti. Para jemaah yang dari awal mengikuti kegiatan menunjukkan wajah yang lega di sesi acara terakhir ini. Semua menunggu adzan maghrib berkumandang.
Akhirnya, yang dinanti pun tiba. Di kejauhan, sayup terdengar suara muadzin. Jemaah pun bersiap untuk menyantap hidangan takjil yang sudah diedarkan.
Namun, ada yang berbeda. Sekolah kami menganut paham cara berbuka yang sedikt berbeda dari yang umum. Biasanya kita menyegerakan berbuka. Menyantap hidangan secepatnya, bahkan saat muadzin belum selesai mengumandangkan adzan.
Sekolah kami menganut aliran fikih yang menunda waktu berbuka sampai keadaan langit benar-benar gelap. Biasanya waktu berbuka kami lima belas menit setelah kumandang adzan terdengar.
Maka gelisahlah para jemaah menunggu waktu yang lima belas menit itu. Ada yang berkali-kali melihat arlojinya. Ada yang berpura-pura duduk dengan khusyu namun mencuri pandang melihat jam dinding.
Ada jemaah perempuan yang menenangkan anaknya agar bersabar. Namun si anak bergeming, segera merobek bungkus makanan yang dibawanya.
Saya mencoba bersabar, namun dorongan perut yang kosong mendorong saya bertingkah seperti jemaah yang lain. Bahasa orang lapar memang sama, begitu bisik suara hati.