Saya menyebut wanita ini sebagai Kartini masa kini. Ia bukan seorang yang berdampak bagi banyak orang disekelilingnya. Bukan seorang wanita yang mengabdikan diri untuk emansipasi wanita atau pendidikan wanita. Bukan seorang yang berasal dari kaum terdidik yang mempelajari teori feminisme atau tamatan post doktoral.
Wanita ini hanya tamatan SD. Pada saat usianya beranjak sekitar 18 tahun, orangtua wanita ini menjodohkannya dengan seorang pria yang berjarak 10 tahun dengannya. Tanpa perlawanan, iapun mengikuti perintah orangtua untuk menikah.
Sangat disayangkan wanita itu sekarang ini tinggal di sebuah gubuk yang berdinding kayu dan beralas tanah. Atap rumah hanya berdaun rumbia, yang mana ketika hujan datang sebagian besar bocor dan membasahi ranjang tempat mereka tidur.
Beberapa bulan yang lalu, saya bersama dengan beberapa teman dari PKPA Gunungsitoli berkunjung ke rumah wanita ini di desa Eusakhozi, kec. Huruna, Nias Selatan. Jalan yang kami lalui untuk sampai ke desa ini tidak mulus.
Dari Gunungsitoli ke Kecamatan Huruna, kami mengendarai motor. Keadaan jalan dari Moi, Nias Barat menuju ke Huruna sangat kurang bagus. Karena saya yang mengemudikan motor, terkadang saya tidak tahu di depan saya ada jalan yang berlubang. Terkadang 100 meter jalan cukup mulus, kemudian jalan berlubang atau jalan yang longsor.
Setelah kurang lebih 2 jam mengendarai motor, kami akhirnya tiba di pusat kec. Huruna. Tetapi, desa yang kami akan kunjungi masih sekitar 7 km. Setelah melapor ke kantor Kecamatan Huruna, kami menuju desa Eusakhozi. Di rumah yang berada di ujung jalan yang bisa dilalui motor, kami memarkirkan motor kami.
Rintangan yang sesungguhnyapun dimulai. Menuju Desa Eusakhozi, kami harus berjalan kaki dengan medan jalan yang sulit. Jalan yang masih disusun bebatuan besar dan beberapa bukit kami harus lalui untuk bisa sampai di Desa Eusakhozi.
Seorang bidan yang merupakan warga Desa Eusakhozi, Nias Selatan mengantarkan kami ke rumah wanita tersebut. Masyarakat desa Eusakhozi mengenal wanita tersebut dengan nama Ina Yunus, karena dalam adat tradisi di Nias setelah seorang wanita berkeluarga ia tidak dipanggil lagi nama aslinya, tapi dipanggil Ina (Ibu) atau Ama (Laki-laki).
Rumah Ina Yunus berada di sebelah kanan jalan. Kami berenam masuk ke dalam rumah Ina Yunus. Buat orang yang tahu standar rumah layak. Rumah Ina Yunus jauh dari kata standar.
Rumah yang hanya berdinding papan yang mulai lapuk, atap yang terbuat dari daun rumah. Beberapa bagian atap sudah mulai bocor dan ketika hujan akan membuat rumah menjadi basah. Jumlah kamar yang ada di rumah Ina Yunus hanya satu, sementara jumlah anggota keluarga yang tinggal ada 6 orang.
Setelah kami memperkenalkan diri satu persatu dan tujuan kami datang kesini. Salah seorang dari kami menanyakan kepada Ina Yunus tentang kehidupan mereka sekeluarga.