Lihat ke Halaman Asli

Febriwan Harefa

Seorang tenaga pendidik

Kesaksian Sepasang Suami-Istri Mantan Tahanan Politik G30S/PKI

Diperbarui: 30 September 2016   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tahun 2012, ketika kuliah di Salatiga. Saya sempat tinggal selama 6 bulan di rumah sebuah keluarga mantan tahanan politik di Jalan Osamaliki.  Nama kedua orangtua tersebut adalah Pak Parmo dan Bu Parmo. Sejak tahun 2008, Pak Parmo dan Bu Parmo tinggal berdua di sebuah rumah yang beberapa bagian atap rumah sudah mulai bocor. Sementara, anak laki-lakinya tinggal di Malang dan anak perempuanya tinggal di Jakarta bersama dengan keluarga mereka masing-masing. Selama tinggal di rumah yang berdinding papan ini. Pak Parmo dan Bu Parmo banyak bercerita tentang kejadian yang mereka alami pada masa lalu. Yang sampai sekarang kejadian tersebut terus membekas di dalam diri mereka.

Kesaksian Pak Parmo

Pak Parmo dulunya hanyalah seorang petani di sebuah Desa di Salatiga. Ketika itu salah satu organisasi petani dibawah PKI memberikan kepada petani di Desa tersebut berbagai peralatan tani, seperti cangkul, bibit tanaman, dll. Karena ketidak tahuan Pak Parmo dan petani yang lainnya. Mereka menerima saja pemberian organisasi tani tersebut. Sampai suatu saat pada tahun 1966. Pak Parmo didatangi oleh beberapa tentara, dan kemudian membawanya ke sebuah tempat yang ia tidak ketahui. Sejak ditangkap, ia berpindah-pindah dari penjara yang satu ke penjara yang lainnya di daerah seputaran Jawa Tengah. Selama 1 tahun lebih di penjara. Bersama dengan tahanan Politik lainnya, mereka dipindahkan ke Pulau Buru dengan menggunakan kapal.

Selama tinggal di Pulau Buru. Mereka dipekerjakan untuk menanam Padi dan tanaman lainnya. Tetapi, kerja keras mereka tidak sebanding dengan kehidupan mereka. Selama disana mereka hanya makan nasi dan lauk seadanya.

Pernah suatu kali di Pulau Buru. Seorang tentara memukul telinga Pak Parmo dengan ganggang senjata. Sehingga sampai pada tahun 2012, Pak Parmo kurang bisa mendengar. Jika seseorang berbicara dengannya.

Kesaksian Bu Parmo

Berbeda dengan Pak Parmo. Bu Parmo adalah seorang kaum intelektual pada saat itu. Sejak tahun 1963, Bu Parmo kuliah Hukum di UKSW, Salatiga. Kemudian, sejak mulai masuk kuliah ia bergabung dengan organisasi mahasiswa yang bernama Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Menurut Bu Parmo organisasi mahasiswa ini sangat aktif dalam mengadakan diskusi, pelatihan, dll. Sampai pada tahun 1965 meletusnya G30S/PKI. Bu Parmo ditangkap dan dimasukan dalam penjara. Selama di dalam penjara terkadang ia diludahi sesama tahanan lain. Ia dianggap salah satu yang menyiksa para Jendral dengan silet. Ketika saya menanyakan, apakah benar Bu Parmo menyiksa Para Jenderal. Dengan tegas, ia menjawab TIDAK. Itu hanya permainan politik.

Setelah beberapa bulan berpindah-pindah dari penjara yang satu ke penjara yang lain. Ia dan bersama dengan beberapa perempuan yang lainnya diangkut ke Pulau Buru.

Suka-Duka Menjadi Tahanan Politik

Sukacita Pak Parmo selama menjadi tahanan Politik di Pulau Buru. Ia mendapatkan belahan jiwanya Bu Parmo di Pulau Buru. Kemudian, setelah 9 tahun tinggal di Pulau Buru. Akhirnya mereka pulang ke Salatiga.

Tetapi sesampainya di Salatiga. Mereka mengalami banyak penolakan dari masyarakat. Rumah mereka terkadang dilempari batu. Kesusahan dalam mengurus akta kelahiran anak. Begitu juga setelah kedua orang anak mereka mulai sekolah. Terkadang, kedua anaknya suka diejek dan dikucilkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline