Lihat ke Halaman Asli

Iwal Falo

Bukan siapa-siapa, hanya berusaha menjadi yang terbaik

Politik dan Kebohongan Menjelang Pilkada Serentak 2020

Diperbarui: 15 September 2020   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tubasmedia.com

“Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan. Sedangkan kebohongan sempurna adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja”. Ini adalah salah satu kutipan terkenal dari Paul Joseph Goebbels yang merupakan Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi dibawah kekuasaan Adolf Hitler. Goebbels juga dikenal sebagai bapak propaganda modern.

Sebagai seorang propagandis, Goebbels banyak disegani oleh para ilmuwan, bahkan hingga sekarang. Ia dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Teknik jitu hasil kepiawaiannya diberi nama Argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).

Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.

Lantas, Apakah proganda ala Goebbels masih hidup di zaman sekarang? Jawabannya ada dan lebih canggih, secanggih perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terutama dirasakan menjelang hajatan politik, entah Pilpres, Pileg maupun Pilkada. 

Dalam dunia politik praktis, politik dan kebohongan bagaikan sepasang kekasih yang sulit untuk dipisahkan meskipun bertentangan dengan etika dan moral politik. Oleh karenanya, dewasa ini, ketika mendengar atau membaca istilah Politik, bayangan orang langsung tertuju pada kebohongan atau tipuan belaka. Padahal politik dan kebohongan merupakan dua kata yang memiliki makna dan tujuan yang berbeda.

Secara sederhana, Politik dapat didefinisikan sebagai 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan dan dasar-dasar pemerintahan), 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, 3) kebijakan atau cara bertindak dalam mengahadapi dan menangani suatu masalah. Kesimpulannya, politik menyasar kepada kebajikan umum atau bersama dalam sebuah negara.

Sedangkan kebohongan (juga disebut kepalsuan) adalah jenis penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk menipu orang lain, sering kali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia atau reputasi, perasaan melindungi seseorang atau untuk menghindari hukuman atau penolakan untuk melakukan satu tindakan. 

Berbohong adalah menyatakan benar terhadap sesuatu yang diketahui tidak benar atau bahwa orang tidak jujur meyakini suatu kebenaran. Yang salah dibenarkan, yang benar dibuat jadi salah. Yang baik dibuat jadi buruk, yang buruk dibuat jadi baik. Itulah dunia politik praktis.

Rasanya tidak berlebihan jika sering terdengar penyataan seperti ini di kampung saya: “Anda jangan main politik dengan saya”. Pengertian sesungguhnya dari pernyataan ini adalah “Anda jangan menipu saya”. Artinya di mata publik berpolitik berarti berbohong.

Hal ini bukan tanpa alasan. Sejak dahulu kala, politik diidentikan dengan perebutan kekuasaan, saling menjatuhkan dan menyerang lawan dengan berbagai cara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bahkan tidak jarang melanggengkan fitnah, intrik dan kebohongan untuk meraih kekuasaan. Dalam hal ini menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan demi pemenuhan hasrat pribadi dan kelompoknya.

Inilah yang disebut politik kebohongan sehingga berdampak sistemik pada ranah apatisme politik warga negara. Wajar bila warga negara sebagai bagian dari praktek pemerintahan memunculkan sikap acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline