Saya menulis tentang KDRT dari cerita seorang sahabat.
Seorang sahabat saat sekolah menengah bertemu setelah 24 tahun berpisah. Kami bercerita apa saja yang terjadi dalam hidup kami selama kami berpisah serta hikmah apa yang bisa dibagi satu sama lain.
Selama 3 tahun kami berteman semasa sekolah menengah , satu hal yang saya ketahui tentang teman saya -wanita- adalah bagaiman ia harus bertahan menyaksikan KDRT di rumahnya. Saya tahu dia sering menginap di rumah temannya dan saya tahu dia sering datang ke sekolah dalam keadaan lebam di tangan atau kaki.
Ayahnya selama bertahun tahun melakukan KDRT terhadap istri (ibunya) dan kedua anak perempuannya . Karena alasan mempertahankan rumah tangga, ibunya bertahan . Kedua anak perempuan di rumah itu mendapatkan jaminan perlindungan dari salah satu tetangganya untuk menyelamatkan diri dari rumah apabila kedua orangtuanya bertengkar atau jika ayahnya sedang dalam kondisi emosional.
24 tahun kemudian -saat kami bertemu kembali- teman saya bercerita bahwa ayahnya didiagnosa mengalami bipolar syndrome di mana emosinya meledak ledak sehingga ada saat saat "tidak menjadi dirinya sendiri". menyakiti diri sendiri atau menyakiti orang lain adalah tindakan ytang tidak bisa diantisipasi.
Orang lain bilang ayahnya mengalami sakit jiwa , tapi teman saya tidak melihatnya demikian . Ia baru mengetahui kondisi kesehatan mental ayahnya setelah memasuki bangku kuliah.
Ibu (istri) teman saya ini bertahan dengan kondisi KDRT karena pesan ibu mertuanya yang ia pegang, bahwa pria ini mencintai istri, anak anak dan ibunya . Keluarga besar mendesak pria ini agar bercerai atau berpoligami agar bisa mendapat keturunan laki laki sebagai penerus marga dan warisan harta keluarga besar yang lumayan banyak . Pria ini tidak ingin mengambil istri lain, tetapi desakan tersebut memicu syndrome tersebut untuk kambuh .
Melakukan KDRT bukan berarti ayah teman saya ini melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumahtangga. Saat syndrome depresi mereda, ia akan menjemput anak anak dari rumah tetangganya dan mengantar istrinya untuk berobat, bahkan memanjakan istrinya untuk menunjukan rasa menyesal. Di luar kondisi depressi, ia adalah ayah yang hangat dan penuh canda.
Ayahnya mengunjungi ahli penyakit jiwa untuk bisa mengendalikan gangguan kesehatannya ini. Saat anak perempuannya menginap sampai berhari hari di rumah tetanggnya, ia tetap menanyakan keadaan mereka berdua melalui telephone, malah menitipkan uang keperluan kuliah pada tetangganya. Tanpa malu ia berbelanja bahan makanan ke pasar , karena istrinya yang lebam lebam tidak akan boleh keluar rumah sampai kondisinya sembuh.
Selama puluhan tahun tetangga teman saya (kebetulan anaknya berteman dengan kami juga di sekolah) yang juga atasan ayah teman saya ini di sebuah instansi , memberikan jaminan perlindungan kepada kedua anak perempuan tersebu.
Keluarga tersebut berpesan, "kapan saja ayahmu mengamuk, jangan biarkan kalian berdua mati sia sia karena melawan atau mati sia sia karena bertahan Kalau emosi ayahmu mulai tak terkendali, pergi dari rumah , kalau perlu lompati pagar rumah kami untuk bisa masuk. Biarkan ibumu yang meredakannya, karena kami tidak bisa memberi perlindungan pada ibumu." Intinya keluarga ini menghindari kedua anak perempuan ini menyaksikan bagaimana emosi ayahnya yg meledak ledak dan menimbulkan trauma.