Gonjang ganjing berita ijasah palsu membuat saya tergelitik . Sebetulnya praktek ini sudah lama , beritanya juga sejak dulu ada. . Tahun 1999 waktu baru lulus kuliah dan lugu , saya ditawari bekerja di sebuah lembaga pendidikan jarak jauh . Namanya cukup mentereng Distance Learning dengan afiliasi dengan Universitas di Amerika . Gelar yang ditawarkan tak tanggung tanggung dari Diploma sampai sampai PhD
Singkat cerita saya menjadi tenaga administrasi untuk registrasi dan membatu staff marketing . Pembayaran kursus (mereka menyebutnya perkuliahan) dilakukan dalam USD . Biaya per semester saat itu mencapai 12 juta rupiah plus 500 USD untuk ijasah universitas Amerika , lama program maksimal 3 semester Wow , siapa yang tidak ngiler dengan gelar instant begitu .
Menariknya program ini banyak peminat . Kok bisa ? universitas yang menbuka kelas jauh hanya berkantor pada sebuah ruangan yang disewa di sebuah hotel . Perkuliahan dilakukan tiap akhir minggu . Dosen didatangkan dari Jakarta , kebanyakan adalah dosen dan praktisi bisnis . Saya iseng ikut perkuliahan mereka , dan agak terkejut krn materi yang disampaikan tak lebih mendalam daripada kuliah Marketing S1 . Modul modul yang dibagikan ke peserta (saya enggan menyebutnya sebagai mahasiswa) saya telaah satu satu , membacanya bikin saya geleng geleng, kok mau maunya mrk bayar begitu mahal untuk kursus dengan iming iming gelar dari Universitas .
Peserta ada 3 kelompok besar yang mendominasi yaitu : pertama praktisi Bisnis atau karyawan perusahaan di level manager rata rata berusia di atas 40 thn , kedua mahasiswa baru lulus kuliah atau baru mulai kerja , yang ketiga adalah kelompok drop out universitas . Dalam setiap sesi perkuliahan tidak ada bacaan wajib, layaknya dosen mereferensikan buku atau hasil penelitian ilmiah sebelum masuk sesi lanjutan . Materi minggu depan juga hanya disampaikan silabus tetapi tanpa memberikan referensi bacaan . Saat itu saya pikir dosen Makro Ekonomi saya di kampus dulu tergolong kejam krn mewajibkan mahasiswa membaca buku referensi 3 bab untuk materi minggu depan .
Karena tidak sesuai dengan visi misi ( meski fresh graduate, saya luar biasa sombong untuk urusan memlilih pekerjaan) saya mempertanyakan legalitas lembaga tersebut . Kok bisa mereka kucing kucingan dengan Dinas Pendidikan ? beriklan di media cetak , mengklaim lembaganya sebagai afiliasi dari Universitas di Amerika , dan mencetak ijasahnya sendiri di Jakarta . Jawaban yang saya peroleh bisa ditebak , manajer tidak bisa menjelaskan. Alasan beliu saat itu adalah karena tidak punya otorisasi untuk memberitahu karyawan, saya dipersilahkan bertanya kepada pimpinana lembaga . Seorang pria perlente bergelar Doktor .
Agar saat bertanya kelak saya tidak nampak terlalu lugu, maka saya membekali diri dengan riset kecil kecilan . Dimulai dengan riset tentang universitas yang diklaim sebagai afiliasi . Saya pun beremail ria dengan teman teman di Amerika. Hasilnya bisa ditebak , universitas itu tak pernah ada di sana. Alamatnya Palsu, program studinya tak jelas , nama rektornya hanya ada di internet . Cukup sampai di situ saya survey . Saya langsung menyiapkan diri mencari pekerjaan lain .
Sebetulnya pengalaman kerja ini bukan satu yang membanggakan, bahkan saya tidak pernah menuliskaannya dalam port folio saya . Sayang waktu itu saya tak punya nyali untuk memberitahu pesertanya tentang kecurigaan saya atas lembaga ini . 3 Bulan saya bekerja di sana ,puluhan orang sudah terjerat iming iming ijasah mentereng . Ada rasa bersalah juga dlm diri saya karena tidak berani mengingatkan mereka untuk memeriksa legalitas lembaga pendidikan itu . Rata rata pesertanya tidak terlalu peduli apakah lembaga tersebut resmi atau tidak, tetapi yang kurang elok itu justru lembaganya yang menyatakan keabsahan Universitas yang diwakilinya . Semoga saat ini orang lebih melek informasi mengenai lembaga pendidikan yang akan mereka ikuti. Jangan sampai kasus ijasah palsu ini baru muncul saat sudah mau naik pangkat atau saat menyiapkan diri untuk menjadi anggoran Dewan, Jangan tergiur gelar yang mentereng .
Daripada menghabiskan puluhan juta rupiah untuk ijasah dan gelar palsu, lebih baik mengambil sertifikasi kecakapan khusus dari lembaga yang memiliki reputasi baik. Intinya begini, belajar di mana saja sah sah saja, tapi jangan membiarkan diri kita tergiur dengan gelar yang mentereng yang semu . Saya pernah jumpa dengan alumnusnya, seorang pengusaha . Beliau dengan percaya diri mencantumkan gelar Magister di belakang namanya , saya menerima kartu namanya dengan takjub. Ya itu memang hak beliau, tanpa ada orang yang boleh mempertanyakan dari mana dia memperoleh gelar tersebut . Kalau pegawai negeri, port folio , menjadi Dosen , jadi anggota dewan misalnya tentu ceritanya jadi lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H