Anak Menjadi Pelaku Kejahatan, Siapa yang Salah?
Anak-anak di bawah umur menjadi pelaku pemerkosaan masal seolah tidak berhenti diberitakan dalam beberapa hari terakhir. Bahkan beberapa kasus di antaranya hingga menelan korban jiwa. Seperti yang terjadi pada AA (13) yang ditemukan di kompleks pemakaman umum Talang Krikil, Palembang pada 3 September 2024 lalu. Dia dihabisi oleh 4 remaja lainnya yang juga di bawah umur. Yang mengejutkan, keempat pelaku diduga telah merencanakan pembunuhan ini bahkan sempat menonton evakuasi jenazah korban, dan mengikuti tahlilan yang adakan di rumah korban. Ketiga pelaku juga dengan bangga memamerkan aksi kejinya kepada teman-temannya yang lain.
Disusul kasus serupa menimpa seorang gadis remaja bernisial RCV (17) yang juga mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh belasan pria muda berusia belasan hingga awal dua puluhan di Labuhan Batu pada 6 September 2024 lalu. Di hari yang sama kasus serupa juga terdengar di Padang Pariaman, seorang gadis berinisial NKF (18) meninggal dunia saat sedang berjualan gorengan. Meskipun kasus pelaku kasus NKF belum dipastikan siapa dan apakah juga remaja, tetapi hal ini tetap menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebab anak dan pelerkosaan massal seolah telah menjadi benang merah baru yang begitu mengerikan.
Bagaimana mungkin anak-anak remaja yang selama ini dianggap masih belia justru menjadi pelaku kekerasan seksual bahkan pembunuhan berencana?
Hal ini tidak lepas dari lingkungan primer pembentuk anak itu sendiri. Keluarga merupakan pondasi penting bagi seseorang untuk membentuk kepribadiannya sebagai manusia. Sayangnya, dewasa ini alih-alih membentuk anak dengan pengasuhan yang baik banyak orang tua justru menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya pada ponsel. Dalam artian anak-anak boleh mengakses media sosial tanpa pengawasan di mana konten-konten pronografi secara aktif menyasar mereka. Sekalipun telah ada vitur kontrol bagi orang tua, tetapi penyedia bisnis pornografi telah lebih canggih dalam memasarkan produknya melalui iklan-iklan pendek yang muncul di situs yang diakses oleh anak seperti Tiktok dan Youtube.
Selain itu, ketidaktegasan pemerintah dalam memberantas situs pornograsi juga menjadi penyebab utama mengapa anak-anak bisa melakukan kekejian ini. Padahal sebagaimana yang diketahui bersama, sasaran utama pornograsi tidak lain dan tidak bukan merupakan generasi muda yang otaknya masih bertumbuh. Anak-anak remaja yang haus akan seks, yang mana tidak mendapatkan pendidikan seksual dari orang tua dan sekolah, dipertemukan dengan situs pornografi. Bagai gayung bersambut, semua itu seolah sengaja diberikan kepada anak-anak.
Padahal, perlu diingat bahwa orang tua tidak boleh berpikiran anak mereka berpotensi menjadi korban saja, tetapi yang terpenting ialah mempersiapkan supaya anak tidak menjadi pelaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H