Lihat ke Halaman Asli

iva umu maghfiroh

Mahasiswa Universitas Terbuka

Kartini dan Perdebatan Mengenai Perjuangan Perempuan

Diperbarui: 23 April 2024   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bulan April menjadi salah satu bulan penting bagi perempuan Indonesia sebab di bulan inilah kita merayakan hari kelahiran dari sosok perempuan yang dijadikan tokoh perjuangan perempuan. 

Sejak kecil kita tentu sudah diperkenalkan dengan sosok perempuan bernama R.A Kartini dengan karya tulisnya yang terkenal bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah tulisan yang menangkap kekelaman hidup perempuan pada era tersebut, tulisan yang bukan hanya indah, tragis tetapi melampaui zamannya. Karena karyanya itulah kemudian R.A Kartini dianugerani gelar sebagai salah satu sosok pahlawan nasional mewakili kaum perempuan. Meskipun tentu saja dalam pemberian anugerah ini terdapat unsur-unsur lain seperti politik akan tetapi ini sudah bukan rahasia umum lagi.  Hanya saja di tahun 2024 ini, tepat di bulan April saya justru disuguhi konten-konten menyedihkan yang terkesan mengkerdilkan perjuangan Kartini. Beberapa dari warganet menyampaikan keberatan mereka mengenai anugerah ini dengan memberikan pernyataan-pernyataan sebagai berikut:

  • Kartini Hanya Menulis dan Tidak Melakukan Aksi Nyata

Banyak warganet menyatakan bahwa Kartini tidak pantas atau tidak layak dianugerahi gelar Pahlawan dikarenakan beliau hanya menulis. Mereka berpikir bahwa tulisan tersebut tidaklah lebih dari sebuah surat yang dikirimkan Kartini. Surat yang tidak berharga dan tidak mengandung makna apa-apa. Hal ini tentu keliru karena justru melalui tulisannya inilah kita bisa menangkap dan mengetahui betapa pentingnya perjuangan perempuan. Bahkan setelah wafatnya beliau, melalui warisan surat-suratnya itulah kemudian semangat perjuangan perempuan bergelora. Tulisannya yang menginspirasi telah melahirkan semangat baru yang tak pupus oleh waktu.

  • Kartini Tidak Mendukung Poligami

Fakta bahwa Kartini menikahi suaminya sebagai istri kesekian entah bagaimana justru mendapat sekarangan, meskipun saya paham dengan apa yang dimaksud oleh para warganet. Mereka kecewa karena Kartini yang seorang simbol perjuangan perempuan justru terlibat dalam poligami. Akan tetapi satu yang perlu kita ketahui, bahwa justru inilah yang menjadikan kita paham betapa sulitnya kehidupan perempuan kala itu. Malah harusnya kita berpikir dari sudut pandang lain seperti bahkan seseorang yang telah terbuka pemikirannya seperti Kartini pun tidak sanggup melawan. 

  • Banyak Tokoh Lain yang Lebih Pantas dianugerahi Gelar Pahlawan

Yang paling aneh menurut saya adalah ketika mereka membandingkan Kartini dengan tokoh-tokoh lain. Sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, memang dalam pemberian gelar pahlawan nasional pada seseorang terkadang juga dipengaruhi unsur politik tetapi mengerdilkan perjuangan seseorang (dalam hal ini yang sudah dianugerahi gelar pahlawan perempuan oleh perjuangannya) dengan tokoh lain rasanya kurang tepat. Alih-alih mengerdilkan lebih baik kita mendorong pemerintah untuk menjadikan tokoh-tokoh lainnya tersebut dipertimbangkan menjadi pahlawan nasional. 

Sebagai sesama perempuan kita tidak harus membandingkan tokoh-tokoh pendahulu, malah harusnya kita bandingkan perjuangan mereka dengan perjuangan kita di hari ini dan masa depan. Sudahkah kita berjuang? Sudahkah kita bermanfaat bagi perjuangan perempuan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline